KEBERADAAN HADITH
DI TENGAH PERAN GANDA NABI MUHAMMAD SAW
(Sebagai Rasul,
Kepala Pemerintahan, Hakim Dan Sebagai Orang Biasa)
Kata kunci :
Peran; Hadith dan Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad adalah orang pilihan Allah untuk
menyampaikan pesan-Nya kepada umat manusia. Pesan Allah yang kita kenal ialah
pesan dalam bentuk tulisan, yaitu al-qur’an. Sehingga al-qur’an dijadikan
sebagai pedoman pertama dan utama dalam menjalani kehidupan ini. Pesan Allah
yang disampaikan kepada manusia melalui nabi Muhammad tidak cukup membuat
manusia paham semuanya. Sehingga diperlukanlah media lain untuk dapat
menjelaskan maksud dan tujuan pesan tersebut. Penjelasan nabi Muhammad
merupakan sebagai penerjemah dari sebagian maksud pesan tersebut yang dikenal
dengan istilah hadith atau sunnah.
Dalam perjalanannya, nabi berdakwah dengan
menggunakan pesan atau ayat-ayat Allah. Oleh karenanya, tidak dapat diragukan
lagi bahwa apa yang disampaikannya merupakan kebenaran yang datang dari Allah. Di
samping sebagai utusan, dia juga sebagai manusia biasa yang memiliki perilaku
seperti orang pada umumnya. Sehingga tidak semua yang dikatakan olehnya menjadi
keharusan bagi kita selaku umatnya. Adakalanya kita harus mengikuti dan adakalanya
pula kita bisa memilih.
Pada saat dia berperan sebagai
Nabi dan Rasul dan menetapkan masalah-masalah nubuwah dan risalah, maka kita
harus mengikuti semua perkataan dan perbuatannya. Jikalau berperan sebagai hakim dan
menetapkan atau memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan masalah agama, maka
kita harus mengambilnya. Tatkala sebagai kepala negara dan ia
melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan administrasi kenegaraan, kita
dapat mengambil atau berijtihad lain sesuai dengan kebutuhan zaman kita. Dan apabila berperan sebagai
manusia biasa (kehidupan sehari-hari), maka kita ada kebebasan untuk mengikuti
maupun meninggalkan.
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti
yang kita ketahui bahwa hadith atau sunnah Nabi mempunyai kedudukan dan peran
yang penting sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’a>n. Karena sangat pentingnya hadi>th dalam kehidupan ini, maka urgensi dalam mempelajarinya juga sangat
penting bagi umat Islam. Oleh sebab itu, argumentasi pentingnya hadi>th dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’a>n adalah sebagaimana Firman Allah Surat an-Nisa’
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا
أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا[1]
Artinya:
”Barang siapa yang mentaati Rasul, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka (An-Nisa’: 80).”
Kemudian
firman Allah SWT dalam Surat al-Hasyr:
…
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya:”Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah.”(QS. Al-Hasyr: 7)[2]
Jadi,
mentaati Allah berarti kita juga mentaati Rasul-Nya. Oleh sebab itu segala
macam hadi>th yang sudah teruji kesahihannya maka wajib hukumnya bagi kita untuk
mengikuti dan mengamalkannya sebab hadi>th merupakan hasil penjelasan dari al-Qur’a>n itu sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam salah satu
sabdanya yaitu:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابُ
اللهِ وَسُنَّتِيْ
Artinya: “Telah
kutinggalkan untukmu dua perkara (pusaka), tidak sekali-kali kamu tersesat
selamanya, selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya yaitu al-Qur’an
dan Sunnahku”. (HR. Malik dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh
Al-Albany dalam Al-Misykah)
Berpegang
teguh pada hadi>th
secara jelas dan hati-hati merupakan keharusan bagi umat Islam. Selain itu,
kita harus memahami hadi>th dan
memperhatikan tingkat kebenaran hadi>th tersebut sehingga kita dapat menjadikannya sebagai hujjah.
Begitu juga, menentukan status hadi>th (sahih, dhaif, hasan dan lain-lain) dan memilih mana hadi>th yang layak digunakan sebagai sandaran.
Tulisan
ini dibuat dengan dasar semoga dapat menjawab berbagai pertanyaan yang cukup
mendasar dalam studi ilmu hadi>th,
semisal: apakah semua yang dikatakan atau dilakukan Nabi itu adalah hadits? Dan
apakah ungkapan atau perbuatan Nabi dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai
posisi yang disandangnya, adalah sebuah hadi>th?
Makalah
ini berusaha untuk menjelaskan berbagai aspek tentang hadith yang berkaitan
dengan posisi Muhammad sebagai Nabi atau Rasul, kepala negara, hakim dan
manusia biasa. Agar kita dapat menentukan mana hadith yang masuk kategori
tasyri’ dan mana yang bukan termasuk kategori tasyri’.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN HADITH
1. Pengertian Hadith
Secara etimologis kata hadith
berasal dari bahasa arab, al-H{adi>th[3]
yang merupakan mufrad dari al-ahadi>th dan dasarnya ialah tahdi>th
yang memiliki arti pembicaraan. Dan juga ada yang mendefinisikan hadi>th dengan riwayat yang bertalian dengan sabda dan perilaku nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat-sahabatnya (untuk
menentukan dan menjelaskan hukum Islam).[4]
Sedangkan menurut terminologi, hadi>th diberi
pengertian yang berbeda–beda oleh para ulama’. Perbedaan pandangan tersebut
banyak dipengaruhi oleh terbatas dan luasnya obyek tinjauan masing–masing, yang
tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya. Menurut
istilah ahli us}ul; pengertian hadith adalah
كل ما صدرعن النبى ص م غيرالقران الكريم من قول اوفعل
اوتقريرممايصلح ان يكون دليلا لحكم شرعى
“Hadith yaitu segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain
Al-Qur’a>n al-Kari>m,
baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut
dengan hukum shara’.[5]
Sedangkan menurut istilah fuqaha. Hadith adalah :
كل ماثبت عن النبى ص م ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب
“yaitu
segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan
masalah – masalah fardhu atau wajib”.
Para ahli us}ul memberi pengertian yang demikian disebabkan mereka
bergelut dalam ilmu us}ul yang banyak mempelajari tentang hukum syari’at saja.
Dalam pengertian tersebut hanya yang berhubungan dengan shara’ saja yang
merupakan hadith, selain itu bukan hadith, misalnya urusan berpakaian.
Sedangkan para fuqaha mengartikan yang demikian di karenakan segala sesuatu
hukum yang berlabel wajib pasti datangnya dari Allah SWT melalui kitab Al
Qur’a>n. Oleh sebab itu yang terdapat dalam
hadith adalah sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al
Qur’a>n atau mungkin hanya penjelasannya
saja. Sedangkan menurut ulama’ Hadith mendefinisikannya sebagai berikut:
كل ما اثر عن النبى ص م من قول اوفعل اوتقريراوصفة خلقية او خلقية
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.
Menurut jumhur Muhaddithi>n
sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai berikut:
مااضيف للنبى ص م قولااوفعلااوتقريرااونحوها
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, pernyataan dan yang sebagainya”.
Perbedaan pengertian antara ulama’ us}ul dan ulama’ hadith diatas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu
yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing-masing. Ulama’ us}ul membahas pribadi dan perilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum
shara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid di zaman sesudah
beliau. Sedangkan ulama’ Hadith membahas pribadi dan perilaku Nabi SAW sebagai
tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah SWT sebagai Uswah wa
Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab
itu ulama hadith mencatat semua yang terdapat dalam diri Nabi SAW baik yang
berhubungan dengan hukum shara’ maupun tidak. Oleh karena itu hadith yang
dikemukakan oleh ahli us}ul
yang hanya mencakup aspek hukum shara’ saja, adalah hadith sebagai sumber tashri’.
Sedangkan definisi yang dikemukan oleh ulama’ hadith mencakup hal-hal yang
lebih luas. Disamping istilah hadith terdapat sinonim istilah yang sering
digunakan oleh para ulama’ yaitu sunnah. Pengertian istilah tersebut hampir
sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan. Maka dari itu kami kemukaan
pengertiannya agar lebih jelas. Sunnah dalam kitab Us}ul Al-h{adi>th adalah sebagai beriku:
مااثرعن النبى ص م من قول اوفعل اوتقرير اوصفة خلقية اوسيرة سواء كان قبل البعثة اوبعدها
“Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup,
baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya.
Dalam pengertian tersebut tentu ada kesamaan antara hadith dan sunnah,
yang sama–sama bersandar pada Nabi SAW, tetapi terdapat kekhususan bahwa sunnah
sudah jelas segala yang bersandar pada pribadi Muhammad baik sebelum atau
sesudah diangkat menjadi Nabi, misalnya mengembala kambing, menikah minimal
umur 25 tahun dan sebagainya. Walaupun demikian terdapat perbedaan yang
sebaiknya kita tidak berlebihan dalam menyikapinya. Sebab. keduanya sama–sama
bersumber pada Nabi SAW.
B.
PERBUATAN NABI SAW
Sebelum
memaparkan pokok bahasan pada makalah ini, terlebih dahulu penulis ingin
menyajikan materi mengenai perbuatan Nabi SAW, agar tardapat pembahasan yang
sinergis dengan bahasan selanjutnya. Kita sepakat bahwa Nabi Muhammad adalah uswah al-hasanah bagi
setiap Muslim. Kita juga sepakat bahwa ajaran Islam yang beliau bawa mencakup
semua umat dan berlaku untuk selamanya. Namun, apakah semua perbuatan beliau
harus kita jadikan sebagai tolok ukur kebaikan? Apakah semua yang beliau
lakukan harus kita tiru semirip mungkin tanpa menghiraukan kenyataan bahwa
antara beliau dan kita di sini dan di masa ini ada perbedaan sosio-kultural
yang sangat besar? Untuk menjawabnya kita perlu melihat pendapat para ulama
dalam menyikapi peran ganda Nabi Muhammad.
Kaitannya
dengan ini, Muhammad Husain Abdullah membagi perbuatan nabi menjadi:
1.
Perbuatan-perbuatan
jibiliyah,
yaitu
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan manusia, seperti, berdiri,
mendaki, makan, minum, berjalan, tersenyum, dan sebagainya. Tidak ada
perselisihan lagi, bahwa perbuatan-perbuatan semacam ini hukumnya mubah
(boleh), baik bagi rasul maupun bagi ummatnya.
2.
Perbuatan-perbuatan
yang telah ditetapkan, bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan kekhususan
bagi Rasul SAW. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak boleh diikuti oleh
umatnya, seperti wajibnya shalat dhuha> dan bolehnya puasa wishal
bagi
beliau SAW. Kedua perbuatan tersebut merupakan kekhususan dari Allah bagi Rasul
SAW.
3.
Pabuatan-perbuatan
yang tidak termasuk perbuatan jibiliyah dan bukan pula
merupakan kekhususan bagi Rasul SAW. Pada perbuatan-perbuatan semacam ini, umat
Islam diperintahkan untuk mengikutinya.[6]
Hal senada disampaikan oleh para ulama
lain seperti Al Juwayni,[7]
Mohammad bin Muhammad[8],
al-Amudy[9]
dan Abu Bakr Muhammad al‑Sharkhashy.[10]
Secara garis besar, mereka semua mengklasifikasikan perbuatan nabi seperti
klasifikasi di atas, meskipun cara menguraikannya berbeda-beda sesuai gaya
tulis masing-masing.
Hadith-hadith Nabi yang menerangkan
perbuatan beliau yang muncul karena sifat manusiawi (bersifat
naluriah/kewatakan), seperti cara makan, minum, berpakaian, berjalan, diam,
bergerak berdiri, duduk den sebagainya hanya menunjukkan pada bolehnya tindakan
seperti itu. Hadith jibiliyah
seperti
itu tidak dapat dipahami sebagai anjuran atau aturan yang harus
diikuti kaum muslimin karena Nabi Muhammad melakukannya bukan dalam kapasitas
sebagai rasul, namun sebagai pribadi. Perbuatan beliau yang harus diikuti
hanyalah perbuatan yang di luar unsur kebiasaan manusia dan bukan termasuk hal
yang khusus bagi beliau semata.
Pernyataan penulis di atas tidaklah
berarti bahwa kita dilarang mengikuti beliau, atau seorang muslim yang
berjalan, tidur, duduk, berpakaian dan sebagainya meniru persis perbuatan nabi
adalah keliru, bukan itu maksudnya. Orang tersebut boleh melakukannya, namun
dia harus menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak termasuk perbuatan
sunnah. Karenanya, dia tidak berhak mendapatkan pahala atas perbuatan meniru
tersebut. Namun, bisa saja dia mendapat point pahala karena kecintaannya pada
Nabi Muhammad.
Penulis sadar bahwa ada sebagian orang
yang mungkin tidak sependapat dengan pembagian ini dan menganggap bahwa
perbuatan nabi mesti diikuti seluruhnya berdasarkan firman Allah dalam Al
Qur’an, yaitu:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[11]
Ayat tersebut di
atas tidak tepat untuk menyanggah pendapat penulis karena penulis juga
sependapat bahwa Nabi Muhammad adalah panutan. Yang menjadi persoalan adalah
apakah semua perbuatan nabi menjadi panutan ataukah hanya perbuatan shar’i
saja? Jawaban penulis adalah tentu yang menjadi panutan hanyalah perbuatan shar’i
saja.
Sebagian pihak
mungkin mengajukan ayat berikut untuk membantah pendapat penulis. Ayat tersebut
adalah:
…وَمَا آَتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا…[12]
…Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah…
Ayat tersebut
sebenarnya bagian dari ayat yang berbicara tentang harta fay’ (rampasan
dari musuh yang tidak mampu melawan) sehingga kurang relevan dengan bahasan
kita. Namun, meskipun kita memberlakukan keumuman lafaznya sekalipun, ayat
tersebut tetap tidak dapat menyanggah apapun karena penulis juga yakin bahwa apa
yang dibawa rasulullah harus dilakukan, namun seperti sebelumnya, apakah itu
berlaku umum atau ada pengecualian? Dalam hal ini penulis melihat ada banyak
dalil yang membatasi keumuman penggalan ayat tersebut.
Untuk menguatkan
argumen penulis, di bawah ini penulis utarakan hadith yang menunjukkan sisi
kemanusiaan beliau disamping sisi kerasulannya. Rasulullah bersabda:
إنما
أنا بشر إذا أمرتكم بشيء من دينكم فخذوا به وإذا أمرتكم بشيء من رأي فإنما
أنا بشر[13]
Sesungguhnnya aku adalah manusia. Jika aku memerintahkan kalian sesuatu
dari perkara agama, maka ambillah. Jika aku memerintahkan sesuatu dari
pendapatku sendiri, maka sesungguhnya aku juga manusia.
Hadith tersebut
disebutkan oleh Imam Muslim pada bab khusus yang berjudul
“باب وجوب امتثال ما قاله شرعا دون ما ذكره صلى الله
عليه وسلم من معايش الدنيا على سبيل الرأي”
arti bebasnya
adalah “Bab tentang kewajiban mengikuti pendapat shar’i yang disabdakannya dan
bukannya apa yang dituturkannya dari akal”. Tampaknya Imam Muslim
sependapat dengan penulis karena hadith tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa
pendapat rasul harus didudukkan sesuai dengan kapasitas beliau. Sebagai rasul,
beliau tidak mungkin salah, tetapi sebagai manusia beliau dapat saja melakukan
kesalahan. Pendapat yang timbul dari sisi manusia ini tidak seluruhnya wajib
untuk diikuti.
Perlu
ditenkankan di sini bahwa penulis tidak bermaksud menafikan hak Nabi Muhammad
untuk memberikan perintah yang tidak ada dalam ruang lingkup wahyu. Banyak
dalil yang dapat dikemukakan untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad secara
pribadi juga harus dipatuhi, selain Allah. Beliau mempunyai otoritas untuk
membuat hukum baru yang tidak ditegaskan dalam al-Qur’a>n. Namun, itu di luar
bahasan makalah ini.
C.
KEBERADAAN HADITH DI TENGAH PERAN GANDA NABI
Klasifikasi kapasitas Nabi
Muhammad SAW sangatlah beragam. Baik sebagai seorang Nabi atau Rasul, kepala negara,
hakim, orang biasa maupun yang lainnya. Untuk lebih jelasnya
perlu diuraikan lebih terperinci tentang kapasitas beliau. Dalam hal tersebut,
penulis akan membagi tindakan dan sabda beliau dalam empat kategori, yaitu:
1.
Kapasitas
Sebagai Rasul.
Rasulullah
adalah orang yang diutus pada manusia untuk menunjukkan jalan yang benar.
Beliau memberitakan wahyu yang tidak mungkin diketahui oleh manusia yang lain.
Dalam kapasitas beliau sebagai rasul, seluruh sabda beliau dapat menjadi harga
mati yang tidak bisa ditawar lagi. Beliau harus diikuti dan dipatuhi oleh
seluruh muslim, suka atau tidak. Dalil dari argumen ini adalah firman Allah
dalam al-Qur’a>n
tentang wajibnya taat kepada rasul yang tentunya telah banyak diketahui
bersama.
Sebagai
seorang rasul, beliau memiliki tugas untuk menyampaikan risalah kepada umatnya sebagaimana
beliau menerima dari Allah SWT. Karena salah satu sifat yang dimiliki dan tugas
yang harus dilakukan oleh seorang rasul ialah menyampaikan.[14]
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Najm ayat 4 yang artinya ialah sebagai
berikut
÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
“ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan, bukan berdasarkan hawa nafsunya”[15]
2.
Kapasitas
Nabi Sebagai Kepala Negara atau Pemimpin Masyarakat.
Rasulullah
Muhammad tidak hanya hidup sebagai rasul. Beliau juga menjadi seorang pemimpin
masyarakat, bahkan kemudian menjadi pemimpin negara. Sebagai seorang pemimpin,
beliau menjalankan roda pemerintahan Islam di Madinah seperti layaknya kepala
negara. Beliau mengadakan rapat dengan orang-orang kepercayaannya, mengirim
suratsurat kenegaraan ke negeri lain, memimpin perang, mengatur masyarakat dan
sebagainya.
Berbagai hadith dalam kapasitas beliau sebagai
seorang pemimpin banyak jumlahnya, di antaranya:
عن ابن عمر رضي الله
عنهما ، قال : استشار رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأسارى أبا بكر فقال :
قومك وعشيرتك فخل سبيلهم . فاستشار عمر فقال : اقتلهم . قال : ففداهم رسول الله
صلى الله عليه وسلم « فأنزل الله عز وجل ( ما كان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن
في الأرض ) إلى قوله ( فكلوا مما غنمتم حلالا طيبا ) قال : فلقي النبي صلى الله
عليه وسلم عمر قال : كاد أن يصيبنا في خلافك بلا.
Dari Ibn Umar ra, Rasulullah bersabda: “Kemudian Nabi Muhammad
bermusyawarah dengan Abu Bakar tentang para tawanan. Abu Bakar berkata: ‘Kaummu
dan masyarakatmu, maka biarkan mereka’. Kemudian beliau bermusyawarah dengan
Umar dan Umar berkata: ‘bunuh mereka’. Ibnu Umar kemudian mekanjutkan; kemudian
rasul menyuruh para tawanan tersebut membayar fidyah, maka Allah menurunkan
firmannya: (Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi) hingga kalimat (makanlah apa yang menjadi
ghanimahmu secara halal dan baik). Ibnu Umar melanjutkan: kemudian rasul
menemui Umar dan bersabda: ‘hampir saja ada bencana yang menimpa kita karena
berbeda pendapat denganmu’.[16]
أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يسرح
معاذا إلى اليمن استشار ناسا من أصحابه فيهم أبو بكر وعمر وعثمان وعلي وطلحة
والزبير وأسيد بن حضير فاستشارهم فقال أبو بكر لولا أنك استشرتنا ما تكلمنا فقال
إني فيما لم يوح إلي كأحدكم قال فتكلم القوم فتكلم كل إنسان برأيه
Sesungguhnya rasulullah SAW, ketika hendak mengutus Mu’adh ke Yaman,
bermusyawarah pada para sahabatnya. Di antara mereka ada Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Thalhah, Zubair dan Asad bin Hudlair. Abu Bakar berkata:
‘seandainya anda tidak mengajak kami bermusyawarah, maka kami tidak akan
bicara. Nabi menjawab: ‘sesungguhnya aku, dalam sesuatu yang tidak diwahyukan
padaku, sama saja dengan kalian’. Mu’adh berkata: ‘kemudian orang-orang mau
berpendapat. Tiap orang berkata sesuai pendapatnya masing-masing’.[17]
Hadith di atas menunjukkan bahwa nabi, sebagai
kepala negara, dapat mengambil keputusan yang keliru dan masih membutuhkan
pendapat orang lain untuk memecahkan masalah kenegaraan.
3. Kapasitas Nabi
Sebagai Hakim
Keberadaan Hadith yang berkaitan dengan peran Nabi
sebagai hakim dan manusia biasa. Hadith yang berkaitan ialah Hadith riwayat
dari Umu Salamah ra, istri Nabi SAW yang artinya dari Rasulullah SAW. Bahwasanya
beliau mendengar pertengkaran di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau keluar
(dari kamar untuk) menemui mereka, kemudian beliau bersabda; “sesungguhnya saya
ini adalah manusia biasa. Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran
mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kamu (yang bertengkar) lebih
mampu (berargumentasi) daripada pihak lainnya, serhingga saya menduga bahwa
dialah yang benar, lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya.
Barang siapa yang saya menangkan (perkaranya) dengan mengambil hak saudaranya
sesama Muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan api neraka yang
saya berikan kepadanya; (Terserah apakah) dia harus mengambilnya ataukah
menolaknya.” (Hadith riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Hadith tersebut memberi petunjuk tentang pengakuan
Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi
itu, Nabi mengaku memiliki kekurangan, yakni mungkin saja dapat dikelabui oleh
kepintaran pihak yang berperkara dalam mengemukakan argumen-argumen untuk
memenangkan perkaranya, walaupun sesungguhnya apa yang dikatakannya itu tidak
benar. Dalam mengadili perkara, pengetahuan Nabi terbatas hanya pada apa yang
telah dinyatakan oleh pihak-pihak yang berperkara beserta alat-alat bukti yang
mereka ajukan. Bila keputusan Nabi ternyata salah sebagai akibat dari
kepintaran pihak yang berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang telah
berhasil mengelabui Nabi tersebut.
4. Kapasitas Nabi
Sebagai Pribadi Biasa.
Selain sebagai rasul
atau pemimpin, Nabi Muhammad juga harus dinilai sebagai pribadi yang babas.
Beliau melakukan hal-hal yang juga dilakukan orang lain di lingkungannya. Untuk
point ini terdapat banyak sekali hadith yang bisa ditemukan dengan mudah di kitab-kitab
hadith.[18]
Hadith berikut dapat jadi contoh yang cukup representatif:
رأيت
رسول الله على المنبر و عليه عمامة سوداء قد أرخى طرفيها بين كتفيه.
Aku melihat
rasul di atas mimbar sedang beliau memakai serban hitam. Beliau menjulurkan
kedua ujung serbannya di antara kedua pundaknya.[19]
Abu Bakar al-Baihaqy menyebutkan hadith ini dalam
kitabnya yang membahas tentang tatakrama, seolah memberi kesan bahwa memakai
serban seperti itu termasuk tindakan yang patut diteladani dan merupakan akhlak
yang baik.[20]
Konon, serban hitam kemudian dijadikan pertanda bahwa pemakainya adalah ningrat
atau keturunan nabi. Menurut hemat penulis, hadith tersebut hanya gambaran
tentang keadaan nabi dan serbannya saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kesunnahan atau akhlak karena nabi sendiri tidak pernah memerintahkan umatnya
untuk meniru “fashion” beliau.
Kita tahu bahwa pemakaian serban sudah dilakukan
orang Arab jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Dengan begitu dapat kita simpulkan
bahwa kaitan serban sebenarnya bukannya dengan shari’at Islam, tetapi dengan
budaya masyarakat Arab, yang Nabi Muhammad adalah salah satu anggotanya. Serban
sendiri sebenarnya bukan urusan ibadah dan di luar koridor pengaturan wahyu
(kerasulan).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan
beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
- Ketika Muhammad berposisi sebagai Nabi dan Rasul dan menetapkan masalah-masalah nubuwah dan risalah, maka kita harus mengikuti semua perkataan dan perbuatannya.
- Saat Muhammad berposisi sebagai hakim dan menetapkan atau memutuskan hal-hal yang kerkenaan dengan masalah agama, maka kita harus mengambilnya.
- Ketika Muhammad sebagai kepala negara dan ia melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan administrasi kenegaraan, kita dapat mengambil atau berijtihad lain sesuai dengan kebutuhan zaman kita.
- Dan ketika Muhammad sebagai manusia biasa (kehidupan sehari-hari), maka kita ada kebebasan untuk mengikuti maupun meninggalkan.
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan
beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
1.
Hadith adalah Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat – sifat maupun hal ihwal Nabi.
2.
Perbuatan Nabi
dibagi tiga, yaitu:
a.
Perbuatan-perbuatan
jibiliyah,
yaitu
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan manusia, seperti, berdiri,
mendaki, makan, minum, berjalan, tersenyum, dan sebagainya. Tidak ada
perselisihan lagi, bahwa perbuatan-perbuatan semacam ini hukumnya mubah
(boleh), baik bagi rasul maupun bagi ummatnya.
b.
Perbuatan-perbuatan
yang telah ditetapkan, bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan kekhususan
bagi Rasul SAW. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak boleh diikuti oleh
umatnya, seperti wajibnya shalat dhuha> dan bolehnya puasa wis}al bagi
beliau SAW. Kedua perbuatan tersebut merupakan kekhususan dari Allah bagi Rasul
SAW.
c.
Pabuatan-perbuatan
yang tidak termasuk perbuatan jibiliyah dan bukan pula merupakan kekhususan bagi
Rasul SAW. Pada perbuatan-perbuatan semacam ini, umat Islam diperintahkan umtuk
mengikutinya
3.
Diantara
kapasitas Nabi Muhammad ialah sebagai berikut:
a.
Sebagai Nabi dan
Rasul dan menetapkan masalah-masalah nubuwah dan risalah, maka kita harus
mengikuti semua perkataan dan perbuatannya.
b.
Sebagai hakim
dan menetapkan atau memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan masalah agama,
maka kita harus mengambilnya.
c.
Sebagai kepala
negara dan ia melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan administrasi
kenegaraan, kita dapat mengambil atau berijtihad lain sesuai dengan kebutuhan
zaman kita.
d.
Sebagai manusia
biasa (kehidupan sehari-hari), maka kita ada kebebasan untuk mengikuti maupun
meninggalkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Muhammad Husain. Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2002.
al-Amudy,
Ali bin Muhammad. Al-Ahkārn Fī UsūI al-Ahkām. Beirut: al-Maktabah
al-Islamy.
Anwar,
Dessy. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Surabaya: Karya Abdi Tama, 2001.
al-Baihaqy, Abu
Bakar. al-‘Adab. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1986.
al-Hakim,
Muhammad bin Abdullah. Al-Mustadrak
‘Alā al-Sihainah. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1990
al-Juwayni,
Abdul Malik. Al-Burhān Fī UsūI Fiqh. Mesir: Al Wafa’t.
Muhammad,
Muhammad bin. Kitāb Al-Taqrīr
wa al-Tahri>r.
Beirut:
Dar al-Fikr, 1996.
al-Naysabury,
Muslim bin Hujjaj. Sahih Muslim. Beirut: Dār
Ihyā’i al-Turāth al-‘Arabī, 1835.
al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: yayasan
Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir, 1971.
al-Qarni,
Aidh. Muhammad Sang Idola. Surabaya:
La Raiba Bima Amanta, 2006.
al-Sharkhashy,
Abu Bakr Muhammad. UsūI al-Sharkhashī. Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah,
1993.
al-Tabrany,
Abu al-Qasim. Al- Mu’jam al-Kabīri. Mosul: Maktabah UIuwah, 1983.
WJS,
Poerwodarminto. Kamus Bahasa Indonesia
Lengkap. Jakarta: Balai Pustaka, 1968.
Zein,
Muhamad Ma’shum. Ulum al-Hadith dan Mustalah al-Hadith. Jombang: Darul Hikmah, 2008.
[1] Departemen Agama, al-Qur’an dan
Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), 91.
[2] Ibid., 546.
[3]
Poerwodarminto WJS, Kamus Bahasa
Indonesia Lengkap (Jakarta: Balai Pustaka, 1968), 338.
[4]
Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia (Surabaya: Karya Abdi Tama, 2001), 163.
[6]
Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2002), 54.
[7]
Abdul Malik Al Juwayni, Al-Burhān Fī UsūI Fiqh (Mesir: Al Wafa’t,
tth) , 321.
[9]
Ali bin Muhammad al-Amudy, Al- Ahkārn Fī UsūI al-Ahkām, (Beirut:
al-Maktabah al-Islamy, tth), 227-228.
[10]
Abu Bakr Muhammad al-Sharkhashy, UsūI al-Sharkhashī (Bairut: Dar
al-Kitab al-Ilmiyah, 1993), 86-87.
[12] Ibid., 59: 7.
[13]
Muslim bin Hujjaj al-Naysabury, Sahīh Muslim, (Beirut: Dār Ihyā’i
al-Turāth al-‘Arabī, 1835),.
[14]
Aidh Al-Qarni, Muhammad Sang Idola
(Surabaya: La Raiba Bima Amanta, 2006),
152.
[15] al-Qur’an, : 4.
[16] Muhammad
bin Abdullah al Hakim, Al-Mustadrak ‘Alā
al-Sihainah (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1990), 359.
[17]
Abu al-Qasim Al-T abrany, al-
Mu’jam al-Kabīri (Mosul: Maktabah UIuwah, 1983), 67.
[18]
Cara yang paling mudah untuk mencari hadith dalam kategori ini adalah
dengan mencari hadith dengan kata kunci كان رسول الله atau langsung melihat kitab Fa>id
al-Qadīr karya al Manawy pada bab huruf kāf
pada hadith yang berawalan dengan frase كان.
[19]
Abu Bakar al Baihaqy, al-‘Adab, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah,
1986), 359 dari riwayat Muslim, Abu Daud, Ibn Majah, Nasa’i dan
Ahmad bin Hambal.
thanks yea!!
BalasHapus