Sabtu, 16 Juni 2012

DEFINISI FILSAFAT ILMU DAN TUJUANNYA


DEFINISI FILSAFAT ILMU DAN TUJUANNYA

Abstrak

Kata kunci : Filsafat Ilmu; Definisi, Ruang Lingkup, Objek, Problem dan Tujuan.

Makalah ini membahas mengenai definisi filsafat ilmu, ruang lingkup filsafat ilmu, problem filsafat ilmu, objek filsafat ilmu maupun tujuan filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan suatu akumulasi pemikiran reflektif, radikal, sistematis mengenai berbagai persoalan ilmu dan dalam hubungannya dengan segala aspek kehidupan manusia. Dalam salah satu pandangan objek filsafat ilmu merupakan bagian dari objek filsafat secara umum yaitu objek formal yang diartikan sebagai sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya. Sedangkan objek materialnya ialah segala yang ada, baik yang ada dalam kenyataan, pikiran maupun dalam kemungkinan meskipun ada yang berbeda pandangan dalam mengemukakan objek formal dari filsafat ilmu itu sendiri.
Berkenaan dengan ruang lingkup dan problem-problem filsafat ilmu, banyak tokoh yang mengemukakannya, antara lain Peter Angeles, A. Cornelius Benjamin, Arthur Danto, Edward Madden, Ernest Nagel dan P.H Nidditch yang mempunyai pernyataan tidak sama namun dapat dikelompokkan bahwa problem-problem tersebut ialah mengenai epistemologi, metodologi, metafisik, etis, logis dan estetik tentang ilmu. Problem-problem ini juga dapat menjelaskan lingkupan dari filsafat ilmu.
Adapun tujuan filsafat ilmu ialah sebagai berikut, pertama; Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu. Kedua; Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories. Ketiga; Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang alamiah dan non-alamia. Keempat; Mendorong pada calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya. Dan Kelima; Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.



BAB I
PENDAHULUAN

Kata filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan, baik secara substansial maupun historis. Kehadiran ilmu tidak dapat dipisahkan dari peran penting filsafat, dan begitu juga sebaliknya bahwa perkembangan ilmu akan memperkuat keberadaan filsafat. Pada zaman Plato sampai pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh dikatakan tidak ada. Seorang filosuf pasti menguasai ilmu pengetahuan. Perkembangan daya berfikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praktis dikalahkan oleh perkembangan i1mu yang didukung oleh teknologi. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Sehingga ada anggapan filsafat tidak dibutuhkan lagi.
Filsafat kurang membumi sedangkan ilmu lebih bermanfaat dan lebih praktis. Padahal filsafat menghendaki pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan universal dan hal ini tidak dapat diperoleh dalam ilmu. Sehingga filsafat dapat di tempatkan pada posisi dimana pemikiran manusia tidak mungkin dapat dijangkau oleh ilmu.
Ilmu bersifat pasteriori (kesimpulan ditarik setelah melakukan pengujian secara berulang), sedangkan filsafat bersifat priori (kesimpulan ditarik tanpa pengujian tetapi pemikiran dan perenungan). Keduanya sama-sama menggunakan aktivitas berfikir, walaupun cara berfikirnya berbeda. Keduanya juga sama-sama mencari kebenaran. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat sendiri tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori keilmuan melalui observasi ataupun eksperimen untuk mendapatkan justifikasi.
Filsafat dapat merangsang lahirnya keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang melahirkan ilmu-ilmu. Hasil kerja filosofis dapat menjadi pembuka bagi lahirnya suatu ilmu, oleh karena itu filsafat disebut juga sebagai induk ilmu (mother of science). Untuk kepentingan perkembangan ilmu, lahir disiplin filsafat yang mengkaji ilmu pengetahuan yang dikenal sebagai filsafat ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, penulis lebih menitikberatkan pada kajian filsafat ilmu dan tujuannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat
Sebelum memberikan gambaran dan penjelasan mengenai filsafat ilmu, terlebih dahulu akan memperkenalkan filsafat itu sendiri supaya pada  pembahasan selanjutnya tidak menimbulkan keraguan dan kebingungan untuk memahaminya. Secara etimologi, ada dua pendapat untuk mendefiniskan filsafat. Pertama; asal kata filsafat ialah dari bahasa Arab. Pendapat ini dinyatakan di antaranya oleh Harun Nasution. Menurutnya, kata filsafat itu berasal dari bahasa Arab. Falsafah, dengan timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian, menurut Harun Nasution, kata benda dari falsafah seharusnya falsafah dan filsaf. Masih menurutnya, dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan berasal dari bahasa Arab, falsafah dan bukan dari kata philosopy. Harun Nasution mempertanyakan, apakah kata fil berasal dari bahasa Inggris dan safah dari kata Arab, sehingga terjadilah gabungan antara keduanya, yang kemudian menimbulkan kata filsafat[1].
Kedua, filsafat dalam bahasa Inggris itu berasal dari Yunani yang diarabkan[2]. Dengan mengutip Poedjawijanta, Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa kata filsafat berasal dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata  Yunaninya adalah philosophia yang merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan sophia; philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu; sophia artinya kebijakan, yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Dengan demikian, filsafat berarti keinginan yang mendalam (cinta) untuk mendapat kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak. Orang yang mempunyai karakter seperti itu disebut filosof. Seorang yang berkeinginan mendalam untuk mendapat kebijakan, secara bahasa bisa disebut filosof. Namun permasalahannya jelas tidak sesederhana itu. Sebatas mana orang bisa disebut filosof? Apakah bijak atau kebijaksanaan (sophia) itu? Tukang kayu saja menurut Homerus bisa juga disebut orang bijak (filosof). Abuddin Nata menjelaskannya tidak jauh berbeda bahwa secara etimologi filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata shopos yang berarti ilmu atau hikmah, berarti filsafat adalah cinta terhadap ilmu atau hikmah. Secara termenologi filsafat adalah suatu kegiatan atau aktifitas yang menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya[3]. Itulah yang kemudian oleh Asghar Ali Engineer Al-Qur’an disebut dengan Al-Qur’an Al-Hakim (Kitab Kebijaksanaan)[4]. 
Selain definisi di atas, terdapat beberapa definisi filsafat menurut para ahli, antara lain:
a.       Alfred Nortt Whitehead menyatakan bahwa filsafat adalah kajian yang lebih menekankan pada menjadi (becoming) dari pada berada (being), perubahan ketimbang persistensi, hal-hal baru yang kreatif ketimbang pengulangan mekanis, dan peristiwa-dan-proses ketimbang substansi. Menurutnya filsafat merupakan sebentuk monisme karena dia memiliki ciri-ciri umum dari semua peristiwa yang terpadu.[5]
b.      Tomson mengatakan bahwa filsafat adalah melihat seluruh masalah tanpa ada batas atau implikasinya. Filsafat dipandang sebagai suatu bentuk pemikiran yang konsekuen tanpa kenal kompromi tentang hal-hal yang harus diungkap secara menyeluruh dan bulat. Dengan tujuan untuk menemukan hakekat dari masalah itu.[6]
c.       Hendra Halamuan Sipayung mengatakan bahwa filsafat adalah upaya menjawab pertanyaan yang bersifat menyeluruh tentang manusia, alam dan Tuhan untuk sampai kepada hal yang sangat mendasar[7]. Dalam catatan Peter Adamson Al-Kindi menyatakan ” Philosophy is a collective enterprise, o that even if every philosopher contributes only a little, ‘‘if one collects together the little that each one of these people has attained of the truth, he result is quite considerable[8] (Filsafat adalah perusahaan kolektif,  bahkan jika setiap filosuf memberikan kontribusi hanya sedikit, jika seseorang mengumpulkan dalam kelompok kecil bahwa setiap orang dari orang-orang ini telah mencapai kebenaran)
d.      Al-Farabi juga mengungkapkan bahwa filsafat [9] adalah “philosophy is nothing else than thought, that is, the science of concepts. The end of philosophy is to know God as the Creator of heaven and earth. (ialah ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya)”. Al-Farabi ini dalam bahasanya Tood Lowson ia adalah filosuf muslim pertama “The one philosopher who first raised the issues that brought about the inclution of religion in philosophy proper was Abu Nasr Al-Farabi (d.339/950)[10].
e.       Hendri Corbin mengatakan bahwa filsafat adalah “Islamic philosophy as the work of thinkers belonging to a religious community characterized by the Quranic expression ahl al-kitab[11](filsafat islam adalah pekerjaan para pemikir yang mempunyai karakteristik komunitas keagamaan dengan mengekpresikan nilai-nilai al-qur’an).
f.       F.W. Nietzshe mengomentari bahwa pada dasarnya filsafat memiliki dua prinsip yang secara keseluruhan membentuk kabar baik “berkehendak= menciptakan” dan “kehendak=kegembiraan”, kehendak adalah menciptakan nilai-nilai baru. Kehendak itulah sebutan dari pembebas dan pembawa kegembiraan. Inilah yang menjadi ajaran inti dari kajian Zaratustra[12].
Filsafat yang akrab dengan penyebutan salah satu ilmu akademis yang mengajak kita untuk berfikir menurut tata tertib (logika) dengan beban (tidak terikat pada tradisi dogma dan agama) dan sedalam-dalamnya hingga sampai pada dasar-dasar persoalan. Inalah yang kemudian melahirkan polemik dikalangan filosuf muslim, seperti yang dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa metode berfikir dunia filosuf penuh dengan kerancuan, kerancuan pada masalah ketuhanan dan kosmologi[13]. Dalam catatan Frank Griffel al-Ghazali menjelaskan inkoherensi para filosuf sebagai "bantahan" (Rodd) dari gerakan filosofis  al-gazali describes the incoherence of the philosophers as a “ refutation”  (rodd) of the philosophical movement “[14].Tetapi seorang Ibn Rusyd menyanggahnya dengan jelas bahwa kerancuan berfikirnya para filosuf yang disebutkan Al-Ghazali itu tidak etis justru sebaliknya, statemen itu adalah kerancuan dalam kerancuan[15].
Berdasarkan beberara uaraian di atas kita dapat memberikan pendapat bahwa filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan    pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Meminjam bahasanya Marx bahwa filsafat bukanlah hanya sekedar menginterpretasikan dunia, dengan berbagai jalan, tetapi yang pokok adalah bagaimana mengubah dunia.[16]

B.     Definisi Filsafat Ilmu
Lahirnya ilmu menimbulkan persoalan-persoalan yang berada di luar minat, kesempatan, atau jangkauan dari ilmuan sendiri untuk menyelesaikannya. Tetapi, ada sebagian cendikiawan yang dengan budinya mencoba menemukan jawaban-jawaban yang kiranya tepat terhadap persoalan yang menyangkut ilmu itu. Mereka adalah philosophers yang dengan pemikiran reflektif berusaha memecahkan persoalan-persoalan tersebut. Pemikiran para filosuf mengenai ilmu merupakan philosophy of science. Berbagai definisi philosophy of science dari para filosuf dapat dikutipkan sebagai berikut[17]:
Robert Ackerman "philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such a philosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific practice". (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual).

Lewis White Beck "Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole". (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan).
A. Comelius Benjamin "That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines". (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode­-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-­cabang pengetahuan intelektual)[18].

Stephen R. Toulmin "Asa discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics". (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mancoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengematan, pola-pola perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika)[19].

Berdasarkan pendapat tersebut di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari segi ontologis, epistemologis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu, seperti:
1.      Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan? (Landasan ontologis)
2.      Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedumya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mengadakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
3.      Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapatlah dimaknai bahwa filsafat ilmu merupakan suatu akumulasi pemikiran reflektif, radikal, sistematis mengenai berbagai persoalan ilmu dan dalam hubungannya dengan segala aspek kehidupan manusia.

C.    Obyek Formal dan Obyek Material Filsafat Ilmu
Menurut Dr. Amsal Bakhtiar, filsafat memiliki dua objek; material dan formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada di sini mencakup “ada yang tampak” dan “ada yang tidak tampak”. “Ada yang tampak” adalah dunia empiris, sedangkan “ada yang tidak tampak” adalah alam metafisika[20]. Masih menurut Bakhtiar, sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga bagian, yaitu; yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan[21]. Menurut Harold H. Titus (1984 : 39) istilah material dalam filsafat itu dapat diberi definisi dengan beberapa cara : pertama, material adalah atom materi sendiri dan yang dapat bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dah bahwa akal serta kesadara (consciousness) termasuk di dalamnya segala proses psikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua, bahwa doktrin alam semesta dapat ditarsirkan seluruhnya dengan sains fisik[22]. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya.

D.    Lingkupan Filsafat Ilmu

Lingkupan filsafat ilmu sebagai dijelaskan oleh para filosuf berbeda-beda antara ahli filsafat yang satu dengan yang lain. Berikut ini dijelaskan beberapa pendapat para tokoh:
1.      Peter Angeles
Menurut Peter, filsafat ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi yang utama
a.       Telah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan motode ilmu, berikut analisis, perluasan, dan penyusunannya untuk memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat.
b.      Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut struktur perlambangnya.
c.       Telaah mengenai saling kaitan di antara berbagai ilmu.
d.      Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang berkaitan dengan pencerapan dan pemahaman manusia terhadap realitas, hubungan logika dan matematikan dengan realitas, entitas teoritis. sumber dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan.[23]
2.      A. Cornelius Benjamin
Filosuf ini membagi pokok soal filsafat ilmu dalam tiga bidang:
a.       Telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah, dan struktur logic dari sistem perlambang ilmiah. Telaah ini banyak menyangkut logika dan teori pengetahuan dan teori umum tentang tanda.
b.      Penjelasan mengani konsep dasar, praanggapan, dan pangkal pendidian ilmu, berikut landasan-landasan empiric, rasional, atau pragmatic yang menjadi tempat tumpuannya. Segi ini dalam banyak hal berkaitan dengan metafisika, karena meencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai dunia kenyataan, keseragaman alam dan rasionalitas dari proses alamiah.
c.       Aneka telaah mengenai saling kait diantara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta seperti misalnya idealisme, materialisme, monisme atau pluralisme.[24]
3.      Arthur Danto
Filosuf ini menyatakan sebagai berikut :
Lingkupan filsafat ilmu cukup luas mencakup kutub yang satu persoalan-persoalan konsep yang demikian erat bertalian dengan ilmu itu sendiri sehingga pemecahannya dapat seketika dipandang sebagai suatu sumbangan kepada ilmu dari pada kepada filsafat, dan pada kutub yang lain persoalan-persoalan begitu umum dengan suatu pertalian filsafati sehingga pemecahannya akan sebanyak merupakan suatu sumbangan kepada metafisika atau epistemologi seperti kepada filsafat ilmu yang sesungguhnya. Begitu pula, rentangan macula-­masalah yang diselidiki oleh filosuf-filosuf ilmu dapat demikian sempit sehingga menyangkut keterangan tentang suatu konsep tunggal yang dianggap penting dalam suatu cabang ilmu tunggal, dan begitu umum sehingga bersangkutan dengan ciri-ciri struktural yang tetap bagi semua cabang ilmu yang diperlakukan sebagai suatu himpunan.[25]
4.      Edward Madden
Filosuf ini berpendapat bahwa apapun lingkungan filsafat umum tiga bidang tentu merupakan bahan perbincangannya.
a.      Probabilitas
b.      Induksi
c.      Hipotesis[26]
5.      Ernest Nagel
Dari hasil peneyelidikannya, filosuf ini menyimpulkan bahwa filsafat ilmu mencakup tiga bidang luas :
a.     Pola logis yang ditunjukkan oleh penjelasan dalam ilmu.
b.    Pembentukan konsep ilmiah
c.     Pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah.[27]
6.      P.H Nidditch
Menurut filosuf ini, lingkupan filsafat ilmu luas dan beraneka ragam. Isinya dapat digambarkan dengan mendaftar serangkaian pembagian dwi bidang yang saling melengkapi:
a.     Logika ilmu yang berlawanan dengan epistemologi ilmu
b.    Filsafat ilmu-ilmu kealaman yang berlawanan dengan filsafat ilmu-ilmu kemanusiaan
c.     Filsafat ilmu yang berlawanan dengan telaah masalah-masalah filsafat dari seuai ilmu khusus.
d.    Filsafat ilmu yang berlawanan dengan sejarah ilmu.
Selain itu, telaah mengenai hubungan ilmu dengan agama juga termasuk dalam ruang lingkup filsafat i1mu.
Ruang lingkup filsafat (scope) filsafat ilmu di atas tentu saja masih perlu dilengkapi dan diperjelas dengan kajian mengenai problem-problem yang terdapat dalam filsafat ilmu. Berbicara mengenai problem filsafat ilmu pasti tidak bisa dilepaskan dari problem umum dari kajian filsafat itu sendiri sebagai induk dari filsafat ilmu. Problem filsafat secara dapat dikelompokkan ke dalam enam hal pokok. Pertama, masalah pengetahuan yang dikaji secara mendalam dalam cabang filsafat yang dikenal dengan nama epistemologi. Kedua, masalah keberadaan yang dibahas secara metafisika atau ontologi. Ketiga, masalah metode yang dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal dengan nama metodologi. K,empat, masalah teori penyimpulan yang ditelaah oleh cabang filsafat yang disebut logika. Kelima, masalah etika moral yang dikaji secara mendasar oleh cabang ilmu filsafat yang disebut etika. Keenam, masalah keindahan yang dikaji sera mendalam oleh cabang filsafat yang disebut estetika.[28]
Oleh karena filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat, maka problem dalam filsafat ilmu secara sistematis juga dapat digolongkan menjadi enam kelompok.[29]

E.     Problem-problem Dalam Filsafat Ilmu
Problem menurut definisi A. Cornelius Benjamin adalah “Suatu situasi praktis atau teoritis yang untuk itu tidak ada jawaban lazim atau otomatis yang memadai, dan oleh sebab itu memerlukan proses-proses.
Namun untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, ada beberapa pendapat dari para filosuf:
1.      Cornelius Benjamim merinci aneka ragam problem itu dalam tiga bagian:
a.       Persoalan mengenai hubungan-hubungan teoritis antara ilmu yang satu dengan yang lain dan antara ilmu-ilmu dengan usaha-usaha manusia yang lain untuk memahami, menilai, dan mengendalikan dunia.
b.      Persoalan yang bersangkutan dengan implikasi-implikasi teoritis dari kebenaran-kebenaran tertentu dalam ilmu sejauh ini mengubah pertimbangan-pertimbangan kita dalambidang-bidang lain dari pengalaman kita.
c.       Persoalan yang bertalian dengan efek-efek praktis, yakni efek-efek dari penemuan-penemuan ilmiah terhadap misalnya bentuk pemerintahan, cara hidup, kesehatan dan rasa senang.
2.      Philip Wiener
Menurut beliau para filosuf ilmu dewasa ini membahas problem-problem yang menyangkut:
Ø  Struktur logis atau ciri-ciri metodologis umum dari ilmu-ilmu
Ø  Saling hubungan antara ilmu-ilmu.
Ø  Hubungan ilmu-ilmu yang sedang tumbuh dengan tahap-tahap lainnya dari peradaban, yaitu kesusilaan, politik, seni dan agama.
Oleh karena filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat seumunya, problem-problem dalam filsafat ilmu secara sistematis juga dapat digolongkan menjadi enam kelompok [30]:
a.       Problem-problem epistemologis (teori pengetahuan[31]) tentang ilmu.
b.      Problem-problem metafisis (oleh Whitehead disebut dengan deskripsi metafisis[32]) tentang ilmu.
c.       Problem-problem metodologis tentang ilmu.
d.      Problem-problem logis tentang ilmu.
e.       Problem-problem etis tentang ilmu.
f.       Problem-problem estetis tentang ilmu.
Epistemologis adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran.
Metafisika pada belakangan ini dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada. Dalam pandangan al-farabi metafisik adalah : “treats of things which are separate from matter”[33].
Metodologi ilmu merupakan penelaahan terhadap metode yang khusus dipergunakan dalam suatu ilmu.
Ahirnya, implikasi-implikasi etis dan aspek-aspek estetis serta analisis, pemaparan, penilaian, dan penafsiran mengenai peranan suatu ilmu dalam peradaban manusia sejak dahulu sampai sekarang merupakan pembahasan-pembahasan bercorak filsafati yang cukup menarik untuk diperbincangkan.
F.     Tujuan Filsafat Ilmu
Segala sesuatu yang terdapat di alam ini diciptakan dengan fungsinya, dengan kata lain bahwa tidak ada materi yang tidak bermanfaat tak terkecuali lahirnya filsafat ilmu. Lahirnya filsafat ilmu memberikan jawaban terhadap persoalan yang muncul terutama yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Oleh karena, di antara tujuannya ialah:
1.      Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
2.      Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories.
3.      Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang alamiah dan non-alamiah.
4.      Mendorong pada calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya.
5.      Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu akademis yang mengajak kita untuk berfikir menurut tata tertib (logika) dengan beban (tidak terikat pada tradisi dogma dan agama) dan sedalam-dalamnya hingga sampai pada dasar-dasar persoalan.
Filsafat ilmu merupakan suatu akumulasi pemikiran reflektif, radikasi, sistematis mengenai berbagai personal ilmu dan dalam hubungannya dengan segala aspek kehidupan manusia. Adalah cabang epistemology yang menelaah secara sistematis sifat dasar ilmu, metode-metode, konsep-konsepnya, praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan.
Obyek material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Obyek formalnya adalah hakekat (esensi) pengetahuan, problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti apa hakekat ilmu itu sesungguhnya.
Lingkupan filsafat ilmu, meskipun banyak pendapat dari kalangan filosuf, namun dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa dan ruang lingkup tersebut meliputi dasar, pra-anggapan dan pangkal pendirian ilmu, metodologi ilmu, dan aneka telaah mengenai saling kait antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori alam semesta.
Hasil usaha manusia untuk mencari hasil kebenaran (filsafat ilmu/ilmu filsafat) dengan menggunakan metode yang berbeda dan dari hasil pengamatan atau observasi, menghasilkan suatu persoalan atau problem. Terutama munculnya suatu pandangan yang berbeda. Karena sama-sama mepertahankan pendapat masing-masing yang telah diperoleh melalui pengamatan atau empiris masing-masing. Dan salah satu contohnya adalah antara filosuf auguste comte dan Papper yang mempunyai pandangan dan metode yang berbeda dalam epistemologi.
Tujuan filsafat ilmu ialah Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu, menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, mendorong calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya dan mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.


DAFTAR PUSTAKA

Adamson, Peter. Al-Kindi. New York: Oxford University, 2007.

Arifin, Muzayyin. Filsfat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.

Asy’ari, Abuhasan. Ibnu Rusyd. Jakarta: Dian Rakyat, 2009.

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Barbour, Ian G. Menemukan Tuhan Dalam Sains Kontemporer dan Agama. Bandung: Mizan, 2005.

Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy. London and New York: Islamic Publications for The Institute Of Ismaili Studies, 1977.

Deleuze, Gilles. Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Ikon Teraliteria, 2002.

Engineer, Asgar Ali. Islam dan Pembebasan. Yogyakarta, LKiS, 2007.

Al-Ghazali. Taha>fut al-Fala>sifah. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.

Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Liberty Jogjakarta, 2007.

Griffel, Frank. Al-Gazali’s Philosophycal Theology. New York: Oxford University Press, 2009.

Hammond, Rev. Robert. The Philosophy of Alfarabi. New York: The Hobson Book Press, 1947.

Hidayat, Ainurrahman. Buku Ajar Filsafat Ilmu. Pamekasan Press: STAIN, 2006.

Lowson, Tood. Reason and Inspiration in Islam. New York: IB. Tauris Publishers, 2005.

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.

Ramly, Andi Muawiyah. Peta Pemikiran Karl Marx: Matrealisme Dialektis dan Matrealisme Historis. Yogyakarta: LKiS, 2007.

Rusyd, Ibn. Taha>fut al-Taha>fut (Tanggapan Terhadap Taha>fut al-Fala>sifah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Sipayung, Hendra Halamuan. Berfikir Seperti Filosof. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.

Shimogaki, Kazou. Kiri Islam. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Santoso, Listiyonu, dkk. Epistemologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

Whitehead, Alfred North. Mencari Tuhan Sepanjang Zaman. Bandung: Mizan, 2009.




[1]. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), 4-5.
[2]. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), 1.
[3]  Ibid. 5.
[4]  Asgar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta: LKiS, 2007), 47.
[5] Ian G. Barbour, Menemukan Tuhan Dalam Sains Kontemporer dan Agama, (Bandung: Mizan, 2005), 214.
[6]. Muzayyin Arifin, Filsfat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), 4.
[7]. Hendra Halamuan Sipayung, Berfikir Seperti Filosof, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), 21.
[8]. Peter Adamson, Al-Kindi, (New York: Oxford University, 2007), 22-23.
[9]  Rev. Robert Hammond, The Philosophy of Alfarabi, (New York: The Hobson Book Press, 1947), xiii.
[10]  Tood Lowson, Reason and Inspiration in Islam, (New York: IB. Tauris Publishers, 2005), 88.
[11]  Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, (London and New York: Islamic Publications for The Institute Of Ismaili Studies, 1977), xviii.
[12]. Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, (Yogyakarta: Ikon Teraliteria, 2002), 118.
[13]. Al-Ghazali, Taha>fut al-Fala>sifah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), 65.
[14]  Frank Griffel, Al-Gazali’s Philosophycal Theology, (New York: Oxford University Press, 2009), 98
[15]  Ibn Rusyd, Taha>fut al-Taha>fut (Tanggapan Terhadap Tafud Al-Falasifah), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), 8-11.
[16]  Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Matrealisme Dialektis dan Matrealisme Historis, (Yogyakarta : LKiS, 2007), 76.
[17]. The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jogjakarta: Liberty Jogjakarta, 2007), 57-61.
[18]  Ibid., 58.
[19]  Ibid., 61.
[20]  Untuk kajian metafisika lebih lanjut lihat, Metode Dekonstruksi Jacqoes Derrida: Kritik Atas Metafisika dan Epistemologi Modern, dalam Listiyonu Santoso, Epistemologi Kiri, 248.
[21]  Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 1.
[22]  Listiyonu Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 39.
[23] Peter A Angeles, Dictionary of Phlosophy (1981), 250. Dalam Pengantar Filsafat Ilmu, The Liang Ghe, (Yogyakarta: Liberty, 2004), 65.
[24] A Cornilius Benjamin, Science, Philoshopy of, dalam ibid, Pengantar Filsafat Ilmu, 65.
[25] Ibid., 65.
[26] Erward H Madden, Pierce and Current Issues in the Philoshopy of Science dalam ibid, Pengatar Filsafat Ilmu, 67.
[27] Ernest Nagel, The Structure of Science: Problems in the Logic of Scientific Explanation, 1974 dalam ibid, Pengantar Filsafat Ilmu, 67.
[28] Ainurrahman Hidayat, Buku Ajar Filsafat Ilmu, (Pamekasan: STAIN, 2006), 5.
[29] Ibid, 5-8.
[30]  Ibid, Pengantar Filsafat Ilmu , 83.
[31]  Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), 93. Untuk kajian epistemologi ilmu lebih lanjut lih, Kazou Shimogaki, Kiri Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 32-38.
[32]  Alfred North Whitehead, Mencari Tuhan Sepanjang Zaman, (Bandung: Mizan, 2009), 98.
[33]  Robert Hammond, The Philosophy of Alfarabi, 9.

1 komentar: