Jumat, 13 April 2012

SEJARAH PEMIKIRAN AL-SHI’AH (al-Imamiyah, al-Zaidiyah dan al-Isma’iliyah)


SEJARAH PEMIKIRAN AL-SHI’AH
(al-Ima>mi>yah, al-Zaidi>yah dan al-Isma>’ili>yah)

Abstrak

Kata kunci : Shi’ah, al-Ima>mi>yah, al-Zaidi>yah dan al-Isma>’ili>yah
Makalah ini bertujuan untuk mengkaji; 1) Latar belakang munculnya Aliran Shi>’ah dalam Islam, 2) Sejarah dan perkembangan pemikiran Shi’ah, 3) Ciri-ciri Shi>’ah Ima>miyah, Zaidiyah dan Isma>’iliyah.
Shi>’ah merupakan salah satu kelompok dalam Islam yang muncul pada saat terjadinya tahkim antara Ali> bin Abi> T{alib dengan Muawiyah. Pada awal munculnya, Shi>’ah tidak didasarkan dengan motif ideologis melainkan motif politik. Namun pada fase berikutnya, motif tersebut mengalami perkembangan yang lebih komplek, termasuk aspek ideologis, sehingga menganggap dirinya adalah kelompok yang paling benar karena merasa mengikuti ahlu al-bait, yakni keluarga Rasul.
Perkembangan Shi>’ah yang semakin pesat itu, melahirkan kelompok-kelompok di internal Shi>’ah sendiri. Kelompok tersebut cukuplah banyak namun dalam makalah ini penulis lebih fokus pada tiga kelompok saja, yaitu Shi>’ah Ima>miyah, Zaidiyah dan Isma>’iliyah. Shi>’ah Ima>miyah merupakan kelompok terbesar pengikutnya yang juga disebut dengan Shi>’ah ithna> ‘ashariyah karena mengakui dua belas imam. Sedangkan Shi>’ah Zaidiyah adalah kelompok yang paling moderat karena kelompok ini tidak seperti Shi>’ah pada umumnya yakni tetap menghargai ketiga sahabat khulafa> al-ra>shidu>n selain Ali. Kelompok ini hanya mengakui lima imam sehingga disebut juga Shi>’ah lima imam. Adapun Shi>’ah Isma>’iliyah merupakan kelompok terbesar kedua setelah Shi>’ah Ima>miyah yang mengakui tujuh imam. Kebanyakan dari nama kelompok tersebut dinisbatkan pada pendirinya di samping pada ajarannya.


BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya kelompok atau golongan di kalangan Islam diawali sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, khususnya disebabkan perbedaan pendirian tentang siapa yang berhak menjadi pengganti beliau sebagai pemimpin masyarakat atau khalifah. Golongan yang dimaksud ialah: Pertama, golongan mayoritas atau jumhur yaitu yang mengakui Khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman serta Ali. Kedua, golongan Shi’ah yaitu yang hanya mengakui Khalifah Ali saja. Mereka tidak mengakui Khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, bahkan menyatakan bahwa ketiganya itu telah menyerobot dan merebut jabatan Khalifah secara tidak sah sehingga mereka beranggapan bahwa yang berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi adalah Ali. Ketiga, golongan Khawa>rij yaitu golongan yang keluar atau tidak masuk ke dalam dua golongan tersebut.
Pada akhir masa pemerintahan Khalifah Ali muncullah golongan Khawa>rij. Awalnya Mereka merupakan pengikut Ali akan tetapi pada akhirnya mereka memberontak karena tidak setuju dengan cara-cara atau keputusan yang dilakukan oleh Ali dalam usaha menyelesaikan pertikaian dengan Mu'awiyah. Sedangkan yang menerima dengan keputusan Ali ialah golongan Shi’ah yang merupakan pokok bahasan dalam penulisan makalah ini.
Menurut pandangan Shi’ah, imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat konflik antar sekte Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah Shi’ah, politik dinamakan al-Ima>mah, dan istilah yang digunakan Sunni adalah al-Khila>fah, sedangkan pada zaman modern saat ini dikenal dengan istilah al-Ri’a>sah.
Dalam pandangan politik Shi’ah dikatakan bahwa Imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, tetapi merupakan salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar perinsip agama Arka>n al-Di>n dimana iman seseorang tidak sempurna kecuali percaya dengan Imamah.
Oleh karenanya, Imam Ali merupakan pelanjut Nabi Muhammad saw yang sah dengan penunjukan langsung dari Muhammad saw. Bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nabi Muhammad. Sehingga, Shi’ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bait. Di sisi lain kalangan Sunni menyerukan suksesi berdasarkan seleksi dan konsensus yang dilakukan oleh rakyat yang diwakili oleh Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi dalam memilih kelayakan seorang pemimpin atau Khalifah.
Namun yang menarik, terdapat golongan Shi’ah yang merupakan bagian sekte Shi’ah yang moderat, yaitu Shi’ah Zaidi>yah. Sehingga sekte tersebut dikategorikan sebagai sekte yang paling dekat ke Sunni. Karena sekte ini dalam banyak hal tidak sependapat dengan Shi’ah pada umumnya. Mereka tidak menyamakan posisi Imam dengan Nabi yang mempunyai sifat ‘is}mah (terpelihara dari dosa dan noda), Shi’ah Zaidi>yah juga menganggap sama kedudukan semua manusia.
 Pada makalah ini, penulis memaparkan sekilas tentang pandangan Shi’ah Imamiyah, Shi’áh Zaidi>yah, dan Shi’ah Isma>’ili>yah. Penulis berharap agar kita sedikit paham mengenai perjalanan dari ketiga sekte dalam Shi’ah tersebut. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan demi sempurnanya penulisan makalah selanjutnya. Meskipun demikian, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada khusunya dan masyarakat pada umumnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  SEKILAS TENTANG SHI’AH
Secara etimologi Shi’ah diartikan sebagai pengikut atau kelompok.[1] Disamping itu juga mengandung makna pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan kelompok. Sebagai contoh: Shi’ah Muhammad artinya pengikut Muhammad atau pecinta Muhammad atau kelompok Muhammad.
Oleh karena itu dalam arti bahasa, orang Islam bisa disebut sebagai Shi’ahnya Muhammad bin Abdillah saw dan pengikut Isa bisa disebut sebagai Shi’ahnya Isa alaihi as-salam. Kemudian perlu diketahui bahwa di zaman Rasulullah, Shi’ah atau kelompok yang ada sebelum Islam, semuanya dihilangkan oleh Rasulullah, sehingga saat itu tidak ada lagi Shi’ah itu dan tidak ada Shi’ah ini.
Jika ditilik dari segi makna, Shi’ah pada mulanya mencakup arti “suatu kelompok yang memiliki persamaan persepsi guna mengadakan konfrontasi atas golongan lain”.[2] Namun beriring perputaran sejarah, “Shi’ah” berkembang dan menjadi istilah khusus untuk suatu golongan (madzhab), yang akhirnya memunculkan makna: suatu kelompok yang meyakini kepimimpinan Ali ra dan anak cucu serta pengikut beliau setelah Rasul. Lebih spesifik Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya “al-Muqaddimah Ibn Khaldun” menerjemahkan Shi’ah sebagai golongan pengikut setia Ali ra dan anak cucu beliau.[3]
Begitupun halnya al-Syahrustan juga menerangkan dalam kitabnya “al-Mila>l wa al-Niha>l” bahwa Shi’ah adalah suatu golongan yang memihak kepada Ali ra, serta meyakini bahwa kepemimpinan adalah hasil ketetapan mutlak dari wasiat Rasul. Yang mendasar dari definisi di atas adalah bahwa Shi’ah yang berkembang sekarang merupakan bentuk madzhab yang bersikap fanatik terhadap kepemimpinan Ali ra, yang berujung pada pensifatan Shi’ah sebagai dogma suatu golongan yang memiliki pemahaman lain dengan golongan keagamaan lainnya dalam Islam.

B.   SEJARAH PEMIKIRAN SHI’AH
Secara historis, asas dan idiologi Shi>’ah tidak muncul dengan tiba-tiba atau tanpa perhitungan yang matang. Sekte yang lebih menonjolkan sikap keberpihakan kepada ‘Ali> ini muncul melalui tahapan yang panjang dan berliku, dimana pada ujungnya, sekte ini memiliki banyak cabang. Sejarah awal munculnya sikap keberpihakan yang berlebihan “tashayyu’” terhadap Imam ’Ali> masih menjadi perdebatan panjang di kalangan sejarawan dan para pengamat sejarah sekte-sekte Islam. Bahkan di kalangan Shi>’ah sendiri juga masih ditemukan kata tidak sepakat antara penulis yang satu dengan yang lain.
Di dalam kitab-kitab tarikh Islam yang beredar di kalangan Sunni>, ada seorang tokoh Yahudi dari Yaman, beliau seorang pendeta yang mu’allaf tidak puas dengan kebijakan khalifah ‘Uthma>n, yakni ‘Abdulla>h bin Saba’. Sebagian ahli sejarah berpendapat, masuknya ‘Abdulla>h bin Saba’ bertujuan untuk mengacaukan Islam dari dalam, karena orang–orang Yahudi tidak mampu menghancurkan Islam dari luar. ’Abdulla>h bin Saba’ sangat ekstrim dalam mengagungkan ‘Ali>, bahkan berani membuat hadis-hadis palsu demi pengagungannya terhadap ‘Ali>, Oleh sebab itu ‘Abdulla>h bin Saba’ dianggap sebagai “avant-garde” Shi>’ah.
Sa’ad al-Qummi>, seorang tokoh dan pakar fiqih Shi>’ah abad ketiga, tidak menginkari keberadaan ‘Abdulla>h bin Saba’. Tokoh yang terkenal ‘thiqah’ dan memiliki wawasan luas di kalangan Shi>’ah ini, malah menyebutkan dengan rinci para pengikut ‘Abdulla>h bin Saba’ yang populer dengan sekte Saba’iyah. ‘Abdulla>h adalah orang yang pertama kali yang memunculkan cacian dan kebencian terhadap Abu> Bakar, ’Umar, ‘Uthma>n dan para sahabat atas dasar perintah ‘Ali. Akan tetapi, ketika prilaku itu diketahui Sayyidina ‘Ali>, beliau lantas memerintahkan agar ‘Abdulla>h dibunuh. Akhirnya, ‘Abdulla>h bin Saba’ diasingkan ke Madain.
Secara histografi kemunculann Shi>’ah telah ada setelah Rasulullah SAW wafat. Yaitu ketika Abu> Bakar terpilih secara aklamasi sebagai khalifah pertama pada pertemuan Saqifah bani Saidah di Madinah. Dalam pertemuan itu ‘Ali> tidak hadir karena sibuk mengurus jenazah Nabi SAW. ‘Ali> dan kelompok dari pemuka-pemuka sahabat pada mulanya tidak bersedia membai’at Abu> Bakar, akan tetapi setelah beliau melihat bahwa keengganan membai’at merupakan mudarat besar bagi kelansungan agama Islam. Bahkan mungkin meruntuhkan sendi-sendi yang baru ditegakkan ditambah lagi beliau mengetahui bahwa Khalifah memperjuangkan Islam dan mencurahkan segala tenaga dan kekuatan demi kemulian Islam dan menyebarkan ke seluruh pelosok dunia dan yang dilakukan khalifah itu adalah puncak apa yang diharapkan ‘Ami>r al- Mu’mini>n (‘Ali> bin Abi> T}alib) dalam kekhalifahan dan kekuasaan, maka karena itulah sehingga beliau ikut membai’at khalifah lantaran disanalah kemaslahatan Islam.
Setelah “kekalahan” pertama para pendukung ‘Ali> dan ‘Ali> sendiri terhadap jabatan Abu> Bakar, enam bulan kemudian, keadaan menjadi sekian rupa sehingga kecendrungan Shi>’ah kehilangan eksistensinya yang terbuka dan aktif. Periode kekhilafahan Abu> Bakar dan penerusnya ‘Umar, menjadi salah satu “masa tidur” dalam sejarah Shi>’ah. Setelah ‘Umar meninggal, sentimen Shi>’ah kembali menemukan ekspresi baru, berupa protes-protes yang dilancarkan pendukung ‘Ali> ketika ‘Uthma>n dinyatakan sebagai khalifah ketiga. Perlu dicatat bahwa jabatan itu pernah ditawarkan kepada ‘Ali> dengan syarat ia tunduk terhadap segala sesuatu yang telah diteladankan oleh pendahulunya yakni khalifah Abu> Bakar dan ‘Umar, namum ‘Ali> menolaknya dan menyatakan dirinya tidak mungkin untuk jabatan itu, sebagai wujud kesederhanaan pribadinya dan kerendahan hatinya, dan karena sikap inilah dewan lalu menetapkan kebijakan memberikan kesempatan ini kepada ‘Uthma>n sebagai khalifah ketiga.
Pada tahun 35/656, khalifah ‘Uthma>n terbunuh, selama berlangsung pemberontakan anti despotisme keluarga Umaiyah, ’Ali> kemudian diangkat menjadi khalifah keempat. Setelah dilantik menjadi khalifah, ‘Ali> berhadapan dengan gerakan pemberontakan yang diprakarsai dua sahabat Nabi, yakni Abu> T}}alhah dan Zubair bin Awwa>m, kepala kelompok inilah Ummul Mu’mini>n ‘Aisyah dalam perang Jamal. Pada sisi lain ‘Ali> berhadapan dengan kekuatan politik oposisi Mu’awiyah, seorang pejabat dari famili ‘Uthma>n dan sekaligus Gubernur Shiria, yang berakibat terjadinya perang s}iffi>n pada tahun 36/357. ‘Ali> juga berhadapan dengan kekuatan Khawa>rij, kelompok separatis yang memisahkan diri dari ‘Ali> yang lebih ekstrem Khawa>rij mengkafirkan pro ‘Ali>. Tahun 40/601 ‘Ali> dibunuh oleh ‘Abdurrahma>n bin Mulja>m dari kelompok Khawa>rij bertindak sebagai eksekutor. Lalu Hasan bin ‘Ali diangkat sebagai khalifah kelima, namun melalui ancaman pihak Mu’awiyah, Hasan lalu menyerahkan jabatan khalifah ke pihak Mu’awiyah.
Shi>’ah gerakan politik menjadi gerakan Aqidah
Pada awalnya Shi>’ah merupakan sebuah gerakan politik yang besar. Dinasti Umayyah menerapkan system politik yang didominasi kalangan ‘Arab atas orang-orang taklukkan yang telah menganut Islam yang telah dimasukkan dalam kelompok inferior. Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z berusaha menghilangkan dominasi Arab ini. Ia juga berusaha mengakhiri tuduhan-tuduhan negatif terhadap khalifah ‘Ali> yang menjadi kebiasaan semenjak masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah. Bahkan kesewenangan Khalifah Mu’awiyah ini telah menimbulkan sejumlah pemberontakan pemberontakan, bahkan banyak pemberontakan itu dilakukan oleh orang-orang Irak dan Persia yang baru masuk Islam. Kalangan oposisi melawan tekanan pihak Mu’awiyah dengan menjadikan keturunan ‘Ali> sebagai kubu mereka.
Perlu dicatat bahwa setelah Hasan meletakkan jabatan pada pihak Mu’awiyah, orang- orang pro ‘Ali> merasa kecewa dengan sikap tersebut. Gerakan perlawanan politik Shi>’ah mengalami perkembangan pesat sebagaimana yang ditunjukkan oleh kelompok Shi’ah Buwaihiyah (954-1055), periode ini memberi kaum Shi>’ah kondisi paling mendukung bagi elaborasi dan standarisasi ajaran-ajaran mereka. Pada periode inilah, kompilasi koleksi-koleksi hadis Shi>’ah berlansung. Shi>’ah mengklaim bahwa penulisan hadis mereka sudah dimulai sejak zaman Nabi SAW, seperti halnya dalam keilmuan Ahlu al-Sunnah. Akan tetapi yang membuat beda adalah, bahwa menurut Shi>’ah, orang yang pertama yang melakukannya adalah Nabi sendiri, yaitu melalui tangan Imam pertama, ‘Ali> bin Abi> T}alib.
Walaupun seluruh gerakan politik mengharapkan perubahan dan kembali kepada kemegahan masa silam. Pada saat itu muncul kelompok Shi>’ah Sab’iyah, sebuah model kontemporer dari dualism kuno yang telah merembes ke dalam Islam pada pertengahan abad kedua Hijriah dalam rangka untuk melepaskan persengketaan dengan pihak Shi>’ah untuk mendapat pengaruh yang memperkenalkan ide “Pimpinan Ketuhanan” ke dalam Islam. Kejadian tersebut, bersama kondisi politik Shi>’ah pada waktu itu, melahirkan benih-benih Shi>’ah Dua Belas Imam.
Doktrin Shi>’isme tidak sama untuk semua kelompok Shi>’ah, bahkan intern kelompok-kelompok sejenis. Shi>’ah Dua Belas Imam, yang telah menjadi agama resmi negara di Persia selama kurang lebih lima ratus tahun, telah mengembangkan homogenitas yang besar dan ide untuk menegakkan dogma. Dengan demikian persoalan politik (khalifah), berubah menjadi masalah Ima>m dan akhirnnya menjadi permasalahan akidah.
Ini tidaklah suatu yang asing, karena antara agama dan politik dalam Islam sulit dipisahkan. Problema khalifah bukanlah soal politik semata juga masalah agama yang cukup prinsipil. Penganut Shi>’ah menentang pemilihan institusi khalifah melalui konsensus umat Ijma>’ mereka bersekukuh bahwa khalifah harus dipilih melalui wasiat dari pemimpin sebelumnya yang mempunyai legitimasi tentu saja menurut Sh>i’ah adalah Ima>m.
Puncak akidah Shi’ah adalah Ima>mat. Ima>m dikalangan Shi>’ah berbeda dengan persepsi imam dikalangan Sunni>, Ima>m adalah pemimpin dalam s}alat. Ima>m dikalangan Shi>’ah ditunjuk melalui wasiat kepada keturunan ‘Ali>, Ima>m adalah model keteladanan. Perbedaan diantara sejumlah cabang Shi>’ah, sebagian bergantung pada identitas imam masing-masing, yakni sebagian keturunan ‘Ali> berhak mewarisi otoritasnya. Satu diantara keberagaman adalah sebagaimana yang terjadi pada sekte Shi>’ah Ghu>lat (berasal dari kata ghulu>w), yang berarti berlebih-lebihan, yang terkenal ekstrem dan dianggap keluar keluar dari Islam, yang membuat statement ‘Ali> tidak lain melainkan Tuhan itu sendiri . Mereka dijuluki sebagai Ultra-Shi’ah, faham ini dipelopori oleh Ibnu Saba’. Di bagian lain keberagaman tersebut juga ditandai dengan Shi’ah Zaidiyah yang berpendapat bahwa didalam Ima>mah terdapat sebuah fungsi yang mungkin dan tidak mungkin digunakan oleh keturunan Nabi dalam waktu yang spesifik dan tidak mesti mengandung ‘Is}mah (kesucian).
Di antara pandangan diatas Shi’ah Dua Belas Imam (DBI) menyatakan bahwa Imam menjalankan fungsi spiritual dan politik yang tinggi juga mempunyai barokah tersendiri, kemampuan yang luar biasa “Kha>riq al-‘Adah, menguasai ilmu rahasia yang tidak dimiliki manusia kebanyakan. Imam-imam tersebut menyalurkan Nur Tuhan dan Nur Muhammad dan mereka semua Ma’s}u>m dari dari dosa. Dengan demikian Imam-imam tersebut sangatlah diperlukan bagi orang beriman untuk memperoleh keselamatan hidup. Sebuah ekspresi dari Imam keenam Shi>’ah yaitu Ja’far al-S}a>diq menegaskan: “Barang siapa meninggal dunia tanpa mengenali Imam pada zamannya, maka ia termasuk mati kafir”. Dengan kata lain Shi’ah DBI menjadikan imam sebagai wasi>lah antara manusia dengan Tuhan.
Di antara kelompok-kelompok dalam Shi>’ah antara lain:
1.    Shi’ah Ima>mi>yah
Sebutan lengkapnya adalah Shi’ah Ima>mi>yah Ithna Ashariyah, tetapi biasa disingkat menjadi Shi’ah Im a>mi>yah. Sekte ini mengakui pengganti Ja'far Sodiq adalah Musa Al-Kadzim sebagai Imam ketujuh, yaitu anak dari Ja'far dan saudara dan saudara dari Ismail almarhum. Imam mereka semuanya ada 12 dan Imam yang kedua belas adalah Muhammad.
Shi’ah Ima>mi>yah merupakan sekte yang terbesar penganutnya. Dinamakan Shi’ah Ima>mi>yah Ithna> Ashariyah sebab mereka percaya bahwa yang berhak memimpin muslimin hanya imam. Mereka meyakini ada dua belas imam.[4] Adapun urutan imam mereka yaitu:
a.       Ali bin Abi Thalib (600661), dikenal dengan Ami>rul Mukmini>n
b.      Hasan bin Ali (625669), dikenal dengan Hasan al-Mujtaba>
c.       Husain bin Ali (626680), dikenal dengan Husain asy-Syahi>d
d.      Ali bin Husain (658713), dikenal dengan Ali Zainal Abidin
e.       Muhammad bin Ali (676743), dikenal dengan Muhammad al-Baqi>r
f.        Jafar bin Muhammad (703765), dikenal dengan Ja'far al-S}adi>q
g.      Musa bin Ja'far (745799), dikenal dengan Musa al-Kadzim
h.      Ali bin Musa (765818), dikenal dengan Ali> al-Ridha>
i.        Muhammad bin Ali (810835), dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad al-Taqi>
j.        Ali bin Muhammad (827868), dikenal dengan Ali> al-Ha>di>
k.      Hasan bin Ali (846874), dikenal dengan Hasan al-Ashkari>
l.        Muhammad bin Hasan (868—),dikenal dengan Muhammad al-Mahdi
Diantara ajaran Shi’ah Imamiah adalah sebagai berikut:
a.       Mereka menganggap bahwa Abu Bakar dan Umar telah merampas jabatan Khalifah dari pemiliknya, yaitu Ali. Oleh karena itu mereka memaki dan mengutuk kedua beliau tersebut. Seakan-akan laknat (mengutuk) disini merupakan sebagian dari ajaran agama.
b.      Mereka memberikan kedudukan kepada Ali setingkat lebih tinggi dari pada yang lain dan memiliki sifat-sifat Ketuhanan.
c.       Mereka percaya bahwa Imam itu ma's}u>m terjaga dari segala kesalahan besar atau kecil. Apa yang diperbuat adalah benar, sedang apa yang ditinggalkan adalah berarti salah.
d.      Mereka tidak mengakui adanya ijma' kesepakatan ulama Islam sebagai salah satu dasar hukum Islam, berbeda halnya dengan aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah. Mereka baru mau menerima ijma' apabila ini direstui oleh Imam. Oleh karena itu di kalangan mereka juga tidak ada ijtihad atau penggunaan ratio/intelek dalam pengetrapan hukum Islam. Semuanya harus bersumber dari Imam. Imam adalah penjaga dan pelaksana hukum.
e.       Mereka menghalalkan nikah mut'ah, yaitu nikah untuk sementara waktu, misalnya satu hari, satu minggu atau satu bulan.
Nikah mut'ah ini mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan nikah yang biasa kita kenal, antara lain sebagai berikut:
1.      Dalam akad nikah ini harus disebutkan waktu yang dikehendaki oleh kedua belah pihak, apakah untuk satu hari atau dua hari misalnya.
2.      Dalam akad nikah ini tidak diperlukan saksi, juga tidak perlu diumumkan kepada khalayak ramai.
3.      Antara suami-istri tidak ada saling mewarisi.
4.      Untuk memutuskan nikah ini tidak perlu pakai talak. Apabila waktu yang ditentukan sudah habis, otomatis nikah mut'ah tersebut menjadi putus.
5.      Iddah istri yang menjadi janda ialah 2X haid atau 45 hari bagi yang sudah tidak haid lagi. Adapun iddah karena kematian adalah sama dengan nikah biasa.
f.        Mereka mempunyai keyakinan bahwa imam yang sudah meninggal itu akan kembali ke alam dunia pada akhir zaman untuk memberantas segala perbuatan kejahatan dan menghukum lawan-lawan golongan Shi’ah. Baru sesudah Imam Mahdi datang, alam dunia ini akan kiamat.[5]
Semua itu tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Dalam ajaran Shi’ah Imamiah pikiran tak dapat berkembang. Ijtihad tidak boleh. Semuanya harus menunggu dan tergantung pada imam. Antara manusia biasa dan Imam ada jarak yang lebar, yang merupakan tempat subur untuk segala macam khurafat dan tahayul yang menyimpang dari ajaran Islam.
2.    Shi’ah Zaidi>yah
Zaidiyah adalah sekte yang dinisbatkan kepada nama pendirinya yakni Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husen bin Ali RA (80 – 122 H). Ia pernah memimpin satu revolusi Shi’ah di Irak melawan orang-orang umawi pada masa Hisyam bin Abdul Malik. Penduduk Kufah mendorongnya untuk memimpin revolusi tersebut. Tak lama kemudian setelah ia maju memimpin pemberontakan, ia ditinggalkan dan dihinakan oleh penduduk Shi’ah di Kuffah karena diketahui Zainal Abidin menghormati dan meridloi Abu Bakar dan Umar serta tidak mengutuk keduanya. Maka ia terpaksa berhadapan dengan tentera umayah padahal pasukannya hanya sekitar 500 orang terdiri dari pasukan berkuda. Dalam pertempuran yang tidak seimbang tersebut ia terkena panah dipelipisnya yang menyebabkan kematiannya.
Dalam Minhaj al-Sunnah, Ibn Taimiyyah mengemukakan alasan mengapa ada sekte Shi’ah yang disebut Rafidhah. Menurut ibn Taimiyyah, sejak Zaid tampil ke gelanggang politik, Shi’ah terpecah menjadi dua, yaitu golongan Rafidhah dan golongan Zaidiyyah. Ketika ditanya mengenai Abu Bakar dan 'Umar, Zaid menyatakan simpatinya kepada kedua sahabat itu. Zaid mendoakan keduanya. Sekelompok pengikutnya kemudian meninggalkan Zaid. Zaid berkata kepada mereka: "Apakah kalian menyempal dariku?" Sejak mereka menyempal dari Zaid itu, istilah Rafidhah muncul. Adapun kaum Shi’ah yang tetap setia kepada Zaid, mereka itu diberi nama Zaidiyah, artinya, yang memihak kepada Zaid.[6]
Kelompok Zaidiyah ini disebut juga Lima Imam. Hal ini disebabkan karena mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
a.       Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
b.      Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
c.       Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
d.      Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
e.       Zaid bin Ali (658740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
Sebutan Rafidhah ini juga erat kaitannya dengan sebutan Imam Zaid bin Ali yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada Khalifah Bani Umayyah, Hisyam bin Abdul-Malik bin Marwan di tahun 121 H.[7]
·         Syaikh Abul Hasan Al-Asy'ari berkata: "Zaid bin Ali adalah seorang yang melebihkan Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakar dan Umar, dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai'atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakar dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: "Kalian tinggalkan aku?" Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka "Rafadhtumu>ni>".[7]
·         Pendapat Ibnu Taimiyyah dalam "Majmu' Fatawa" (13/36) ialah bahwa Rafidhah pasti Shi’ah, sedangkan Shi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Shi’ah menolak Abu Bakar dan Umar sebagaimana keadaan Shi’ah Zaidiyyah.
·         Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau (Imam Ahmad) menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar'."[8]
·         Pendapat yang agak berbeda diutarakan oleh Imam Syafi'i. Meskipun mazhabnya berbeda secara teologis dengan Shi’ah, tetapi ia pernah mengutarakan kecintaannya pada Ahlul Bait dalam diwa>n al-Shafi'i melalui penggalan syairnya: "Kalau memang cinta pada Ahlul Bait adalah Rafidhah, maka ketahuilah aku ini adalah Rafidhah".[9]
Adapun doktrin pemikirannya ialah sebagai berikut:
a.       Zaidiyah membolehkan semua keturunan dari Fathimah untuk menjadi Imam, baik dari Hasan maupun Husain.
b.       Menurut mereka imamah tidak dengan nash. Oleh karena itu tidak disyaratkan imam terdahulu menunjuk imam yang akan datang. Artinya keimaman tidak berdasarkan warisan tapi atas dasar bai’ah, maka siapa saja yang termasuk keturunan Fathimah berhak menjadi imam bila telah memenuhi syarat sebagai imam.
c.       Imam tidak beleh misterius, karena harus dipilih oleh Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi. Pemilihan tidak boleh langsung apabila calon imam belum diumumkan bahwa ia berhak dan memenuhi syarat untuk menjadi imam.
d.      Dalam waktu yang sama diperbolehkan adanya dua imam untuk dua negara yang berbeda. Zaidiyah memperbolehkan pengangkatan seorang imam utama padahal ada yang lebih utama. Sebab tidak disyaratkan seorang imam harus orang terbaik dari seluruh manusia. Bahkan diperbolehkan terwujudnya seorang imam yang kualitas keutamaannya biasa-basa saja padahal masih ada orang yang lebih utama dari dia yang semestinya dijadikan rujukan dalam masalah hukum, berhukum dengan hukumnya dalam masalah-masalah yang dikemukakan olehnya.
e.       Mayoritas penganut Zaidiyah mengakui kekhilafahan Abu Bakar dan Umar RA tidak mengutuk keduanya seperti kelompok syi’ah yang lain. Bahkan kelompok Zaidiyah merestui dan menyatakan sahnya kekhilafahan Utsman RA, kendati ada beberapa hal yang kurang disetujuinya.
f.        Dalam pemikiran keagamaan mereka cenderung kepada pemikiran Mu’tazilah, terutama dalam hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, Qodho’ dan Qodar. Para pelaku dosa besar dipandang oleh Zaidiyah akan ditempatkan diantara dua tempat, sama dengan kelompok Mu’tazilah, tapi mereka tidak kekal di neraka. Mereka akan disiksa di neraka sampai dosanya bersih, setelah bersih dari dosanya mereka akan dipindah ke surga. Zaidiyah sama sekali menolak tasawwuf.
g.      Berkaitan dengan nikah, Zaidiyah berbeda dengan kaum Shi’ah umumnya, yaitu menolak perkawinan muth’ah.
h.      Secara umum hamper tidak ada perbedaan antara Zaidiyah dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah khususnya dalam masalah ibadah, masalah yang fardlu, hanya ada perbedaan sedikit dalam masalah furu’ seperti:
1.      Dalam adzan ada kata-kata hayya ala khairil a’mal.
2.      Shalat jenazah harus lima kali takbir.
3.      Tidak sedakap dalam shalat
4.      Shalat hari raya tidak mesti berjamaah.
5.      Sholat tarawih berjamaah dikategorikan bid’ah.
6.      Tidak syah shalat di belakang orang yang penuh dosa.
7.      Rukun wudlu ada sepuluh.
i.        Berkenaan dengan masalah ijtihad, mereka meyakini bahwa pintu ijtihad masih terbuka untuk siapa saja yang mampu. Barang siapa yang tidak mampu berijtihad dia harus taqlid. Taqlid kepada ahlul bait lebih utama daripada taqlid kepada orang lain.
j.        Zaidiyah tidak meyakini imam sebagai ma’shum dari segala dosa dan kesalahan, selain itu mereka tidak berlebih lebihan dalam menghormati imam dan wajib keluar dari imam yang dzalim dan tidak wajib mentaatinya berbeda dengan Shi’ah pada umumnya.
k.      Qodlo’ dan qodar wajib diimani, menurut Zaidiyah manusia itu bebas memilih dalam mentaati atau mendurhakai Allah. Dengan demikian mereka memisahkan antara ira>dah dan mahabbah atau ridla>. Ini mirip pemahaman beberapa kalangan ulama’ Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
l.        Sumber-sumber hukum menurut Zaidiyah adalah: al-Qur’an, Al- Sunnah, Qiyas termasuk maslahah mursalah dan akal. Dengan demikian apa yang menurut akal jelas benar maka harus dikerjakan. Sedangkan apa yang menurut akal jelas jelek maka wajib ditinggalkan.

3.    Shi’ah Isma>’ili>yah
Ismailiyah adalah kelompok Shi’ah yang terbesar kedua setelah Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini kurang mendapat perhatian bahkan informasi mengenainya tidak luas. Bahkan selama berabad-abad informasi yang benar dan dapat dipercaya untuk para peneliti boleh dikatakan hampir tidak ada. Penelitian terbaru pada abad dua puluh sangat membantu mengenal Ismailiyah. Kelompok Isma>ili>yah adalah pendiri negara yang bermazhab Shi’ah di Afrika Utara.
Terbentuknya kelompok Shi’ah Ismailiyah lebih dikarenakan perbedaan penetapan pelanjut Imam Ja’far Shadiq as. Pada tahun 148 H/765 M, di kota Kufah sebagian orang Shi’ah memisahkan diri. Pemisahan ini terkait erat dengan perjuangan melawan dinasti Abbasiyah. Ide mereka dibalik perjuangan tersebut adalah keyakinan bahwa pemerintahan yang berdasarkan keadilan hanya dapat dibenarkan bila dilakukan di belakang kepemimpinan Ismail bin Ja’far (anak laki-laki tertua Imam Ja’far Shadiq as). Semboyan ini menarik perhatian orang Shi’ah di Iran, Irak, Syiria, Yaman, Bahrain dan Afrika Utara. Gerakan ini biasa disebut al-Da’wah al-Hadiyah (Dakwah Hidayah).
Pada tahun 297 H pemerintahan pertama yang berhasil didirikan bernama Fathimiyyun atau Dinasti Fatimiyah.[10] Keberhasilan ini di bawah kepemimpinan Imam Ismailiyah. Pemerintahan Ismailiyah di bangun di Afrika Utara. Tahun-tahun itu dapat disebut sebagai masa keemasan Shi’ah Ismailiyah. Pada tahun 487 H/1094 M terjadi krisis terbesar dialami oleh Shi’ah Ismailiyah. Krisis ini terkait erat dengan kepemimpinan setelah Imam Ismailiyah. Krisis ini menyebabkan terbaginya Shi’ah Ismailiyah menjadi dua bagian yakni Musta’lawiyah dan Nizariyah. Perselisihan yang terjadi menyebabkan melemahnya Shi’ah Ismailiyah di hadapan Ahli Sunah.
Musta’lawiyah diakui secara resmi oleh pemerintah pusat di Afrika Utara. Bahkan boleh dikata Musta’lawiyah adalah pewaris aliran Ismailiyah. Namun Musta’lawiyah perlahan-lahan juga terbagi-bagi. Pada akhirnya, tahun 567 H ketika Dinasti Fathimiyah runtuh, Musta’lawiyah dengan sendirinya tidak lagi memiliki kekuasaan. Di masa keruntuhan Dinasti Fathimiyah kelompok Ismailiyah Thibi, yang sebagian besar Musta’lawiyah, menetap di Yaman. Mereka menanti Imam mereka yang gaib. Di masa penantian Imam ghaib mereka meyakini kepemimpinan Da’i Mut}laq (penyeru mutlak). Perlahan-lahan ajaran mereka menyebar ke India. Di India dikenal sebagai Buhrah. Perhatian besar mereka akan pentingnya sastra dan pemikiran Ismailiyah menyebabkan budaya Fathimiyyun untuk kedua kalinya tumbuh kembali. Saat ini, sejumlah besar teks-teks Ismailiyah Fathimiyah dan Thibi berada di tangan Ismailiyah India.
Sementara itu, Nizariyah sempalan lain dari Ismailiyah memiliki pengikut terbesar. Pada abad pertengahan mereka banyak bertempat tinggal di Iran. Pertama mereka menempati daerah Khuzestan kemudian berpindah-pindah ke Utara, pusat Iran, Khurasan dan sampai di daerah Ma bina An-Nahrain, akhirnya mereka tersebar di daerah Rei dan Naishabur. Penyeru mutlak mereka seperti, Abu Hatim Ar-Razi dan Muhammad bin Amhad Nasafi memimpin Da’i Muthlaq di daerah Kurasan. Berkat usaha penyeru mutlak, yang rata-rata adalah orang Iran, pemikiran Neo Platonisme dikombinasikan dengan teologi Ismailiyah. Usaha mereka menghasilkan aliran filsafat Ismailiyah Neo Platonisme. Pemikir-pemikir yang memiliki saham terbentuknya pemikiran ini seperti; Abu Ya’qub Sijstani, Hamid Ad-Din Kermani, Nasir Khasru dan lain-lain. Pergolakan pemikiran yang terjadi ini pada akhirnya, dengan kepemimpinan Hassan Sabah, memunculkan gerakan Ismailiyah Nizariyah.
Hassan Sabah lahir di kota Qum. Ia meyakini ajaran Ismailiyah di kota Rei hingga memegang tampuk kepemimpinan. Pada masa itu, akhir-akhir abad ke lima Hijriah, Ismailiyah yang berada di Iran masih di bawah kepemimpinan Shi’ah Fathimiyyun. Perwakilan Shi’ah Fathimiyyun di Iran dipegang oleh Abdul Malik Bin ‘Attash. Ia tinggal di kota Isfahan. Hassan Sabah sebelum terpecahnya Ismailiyah kepada Musta’lawiyah dan Nizariyah berniat untuk memerangi Turki Saljuqi yang bermazhabkah Ahli Sunah. Ia pada tahun 483 H/1090 M berhasil menguasai istana Alamut. Pada tahun 487 H ia menjadi pemimpin Shi’ah Ismailiyah Iran. Dengan itu juga ia memutuskan hubungannya dengan Fathimiyyun. Bersamaan dengan itu ia mendirikan negara Nizari. Negara yang dibangunnya dikemudikan hari lebih dikenal dengan ‘Da’wah jadidah’ (seruan pembaharu). Hassan Sabah perlahan-lahan melebarkan sayap kekuasaannya hingga mencakup Syiria, Khurasan dan daerah Utara Iran. Namun batas-batas teritorial kekuasaannya terpecah-pecah.
Negara Nizariyah hanya dapat bertahan selama 166 tahun. Masa 166 tahun ini dikenal dengan masa Alamut. Tidak banyak informasi berkaitan dengan mereka. Informasi yang ada tidak lebih dari yang diberikan oleh Markopolo sebagai pengamatan yang dilakukan dalam perjalanannya. Namun akar pemikiran Nizariyah dapat ditelusuri pada Sepidjamegan dan Khurramdinan.
Setelah Hassan Sabah, ada tujuh orang sepeninggalnya yang berkuasa di Alamut. Di masa ini kekuasaan mereka cukup kuat. Kekuatan mereka pada akhirnya harus runtuh setelah serangan bangsa Mongol. Runtuhnya kerajaan Nizariyah oleh serangan tentara Mongol terjadi pada tahun 654 H/1256 M. Setelah runtuhnya kerajaan Nizariyah, orang Ismailiyah kemudian melakukan eksodus ke beberapa negara antara lain India, Afghanistan dan lain-lain. Penyebaran mereka di beberapa negara dilakukan dengan bentuk kehidupan seorang sufi. Imam Nizariyah sebagai mursyid mereka. Mereka sempat berkumpul di daerah Anjedan kota Qum dan akhirnya menuju India. Di India mereka dikenal dengan sebutan Khojah. Khojah adalah kelompok Shi’ah Ismailiyah yang terbesar. Saat ini, pengikut Shi’ah Ismailiyah hidup bertebaran di Jerman, Tajikistan, Khurasan, Afghanistan dan lain-lain.[11]
Shi’ah ini disebut juga Tujuh Imam sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1.      Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2.      Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3.      Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4.      Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5.      Muhammad bin Ali (676743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6.      Ja'far bin Muhammad bin Ali (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7.      Ismail bin Ja'far (721755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.[12]


BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat ditarik benang merahnya bahwa Shi’ah merupakan suatu kelompok yang meyakini kepimimpinan Ali ra dan anak cucu serta pengikut beliau setelah Rasul SAW.
Di antara sekte atau kelompok dalam Shi’ah itu sendiri ialah: Pertama, Shi’ah Ima>mi>yah yang merupakan sekte terbesar penganutnya. Dinamakan Shi’ah Ima>mi>yah Ithna Ashariyah sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Sedangkan Ismailiyah adalah kelompok Shi’ah yang terbesar kedua setelah Itsna ‘Asyariyah atau Shi’ah Imamiyah


DAFTAR PUSTAKA
‘Ali al-Nadwi Abu al-Hasan. Riwayat Hidup Rasulullah, terj. Bey Arifin, Yunus Ali Muhdhar, Surabaya: Bina Ilmu.
Bakar, Irfan Abu. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004.
Filza, Abu. “Shi’ah Imamiyah Bertentangan dengan Ajaran Islam”, dalam http://www.akhirzaman.info/islam/Shi’ah/1727-Shi’ah-imamiyah-bertentangan-dengan-ajaran-islam.htm 2011.
Hamid, Abu Hamid. Riwayat Hidup ‘Ali Bin Abi Thalib. Semarang: Toha Putra, 1988.
Ilyas Hasan, dkk. Shi’ah; Tinjauan Sejarah. Bandung: Mizan, 2003.
Merdin, Sherif. Shi>’ah Dalam Lintasan Sejarah, terj.Syamsuddin Asyraf,dkk. Yogyakarta: Titian Ilahi, 1999.
Mura>d, Mus}t}afa. Al-Shi’ah. Mesir: 2005.
Nasr, Seyyed Hossen. Islam; Agama, Sejarah dan Peradaban. Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
Syu’bi, Mohammad. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Taimiyyah, Ibnu. Minhaj al-Sunnah. Juz 1, hal.8.
______, Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul
Zahrah, Muhammad Abu. Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih. Jakarta: Lentera, 2005




[1]  Mus}t}afa Mura>d, Al-Shi’ah (Mesir: 2005), 85.
[2]  Seyyed Hossen Nasr, Islam; Agama, Sejarah dan Peradaban terj (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), 11.
[3]  Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, Kairo: Dar al-Ba>bi al-Halabi wa Aula>duhu,t.t
[4]   Irfan Abu Bakar, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), 358.
[5]  Abu Filza, “Shi’ah Imamiyah Bertentangan dengan Ajaran Islam”, dalam http://www. akhirzaman.info/islam/Shi’ah/1727-Shi’ah-imamiyah-bertentangan-dengan-ajaran-islam.htm (03 Oktober 2011), 2.
[6]  Lihat pada Minhaj as-Sunnah, Ibnu Taimiyyah, Juz 1, 8.
[7]  Mus}t}afa Mura>d, 123.
[8]   Untuk lebih jelasnya, lihat Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul. hal. 567, karya Ibnu Taimiyyah.
[9]  Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
[10]  Mohammad Syu’bi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), 133.
[11]  Kamaluddin Nurdin Marjuni, Shi’ah Ismailiyah dalam http://salehlapadi.wordpress.com /2007/04/24/ismailiyah-kelompok-terbesar-kedua-syiah/ (03 Oktober), 3.
[12]  Mus}t}afa Mura>d, 136.