Sabtu, 16 Juni 2012

KEBERADAAN HADITH DI TENGAH PERAN GANDA NABI MUHAMMAD SAW (Sebagai Rasul, Kepala Pemerintahan, Hakim Dan Sebagai Orang Biasa)


KEBERADAAN HADITH
DI TENGAH PERAN GANDA NABI MUHAMMAD SAW
(Sebagai Rasul, Kepala Pemerintahan, Hakim Dan Sebagai Orang Biasa)

Kata kunci : Peran; Hadith dan Nabi Muhammad.
Nabi Muhammad adalah orang pilihan Allah untuk menyampaikan pesan-Nya kepada umat manusia. Pesan Allah yang kita kenal ialah pesan dalam bentuk tulisan, yaitu al-qur’an. Sehingga al-qur’an dijadikan sebagai pedoman pertama dan utama dalam menjalani kehidupan ini. Pesan Allah yang disampaikan kepada manusia melalui nabi Muhammad tidak cukup membuat manusia paham semuanya. Sehingga diperlukanlah media lain untuk dapat menjelaskan maksud dan tujuan pesan tersebut. Penjelasan nabi Muhammad merupakan sebagai penerjemah dari sebagian maksud pesan tersebut yang dikenal dengan istilah hadith atau sunnah.
Dalam perjalanannya, nabi berdakwah dengan menggunakan pesan atau ayat-ayat Allah. Oleh karenanya, tidak dapat diragukan lagi bahwa apa yang disampaikannya merupakan kebenaran yang datang dari Allah. Di samping sebagai utusan, dia juga sebagai manusia biasa yang memiliki perilaku seperti orang pada umumnya. Sehingga tidak semua yang dikatakan olehnya menjadi keharusan bagi kita selaku umatnya. Adakalanya kita harus mengikuti dan adakalanya pula kita bisa memilih.
Pada saat dia berperan sebagai Nabi dan Rasul dan menetapkan masalah-masalah nubuwah dan risalah, maka kita harus mengikuti semua perkataan dan perbuatannya. Jikalau berperan sebagai hakim dan menetapkan atau memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan masalah agama, maka kita harus mengambilnya. Tatkala sebagai kepala negara dan ia melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan administrasi kenegaraan, kita dapat mengambil atau berijtihad lain sesuai dengan kebutuhan zaman kita. Dan apabila berperan sebagai manusia biasa (kehidupan sehari-hari), maka kita ada kebebasan untuk mengikuti maupun meninggalkan.


BAB I
PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui bahwa hadith atau sunnah Nabi mempunyai kedudukan dan peran yang penting sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’a>n. Karena sangat pentingnya hadi>th dalam kehidupan ini, maka urgensi dalam mempelajarinya juga sangat penting bagi umat Islam. Oleh sebab itu, argumentasi pentingnya hadi>th dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’a>n adalah sebagaimana Firman Allah Surat an-Nisa’
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا[1]
Artinya: ”Barang siapa yang mentaati Rasul, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (An-Nisa’: 80).”
Kemudian firman Allah SWT dalam Surat al-Hasyr:
… وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Artinya:”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”(QS. Al-Hasyr: 7)[2]
Jadi, mentaati Allah berarti kita juga mentaati Rasul-Nya. Oleh sebab itu segala macam hadi>th yang sudah teruji kesahihannya maka wajib hukumnya bagi kita untuk mengikuti dan mengamalkannya sebab hadi>th merupakan hasil penjelasan dari al-Qur’a>n itu sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya yaitu:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِيْ
Artinya: “Telah kutinggalkan untukmu dua perkara (pusaka), tidak sekali-kali kamu tersesat selamanya, selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya yaitu al-Qur’an dan Sunnahku”. (HR. Malik dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Misykah)
Berpegang teguh pada hadi>th secara jelas dan hati-hati merupakan keharusan bagi umat Islam. Selain itu, kita harus memahami hadi>th dan memperhatikan tingkat kebenaran hadi>th tersebut sehingga kita dapat menjadikannya sebagai hujjah. Begitu juga, menentukan status hadi>th (sahih, dhaif, hasan dan lain-lain) dan memilih mana hadi>th yang layak digunakan sebagai sandaran.
Tulisan ini dibuat dengan dasar semoga dapat menjawab berbagai pertanyaan yang cukup mendasar dalam studi ilmu hadi>th, semisal: apakah semua yang dikatakan atau dilakukan Nabi itu adalah hadits? Dan apakah ungkapan atau perbuatan Nabi dalam kehidupan sehari-hari dalam berbagai posisi yang disandangnya, adalah sebuah hadi>th?
Makalah ini berusaha untuk menjelaskan berbagai aspek tentang hadith yang berkaitan dengan posisi Muhammad sebagai Nabi atau Rasul, kepala negara, hakim dan manusia biasa. Agar kita dapat menentukan mana hadith yang masuk kategori tasyri’ dan mana yang bukan termasuk kategori tasyri’.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN HADITH
1.      Pengertian Hadith
Secara etimologis kata hadith berasal dari bahasa arab, al-H{adi>th[3] yang merupakan mufrad dari al-ahadi>th dan dasarnya ialah tahdi>th yang memiliki arti pembicaraan. Dan juga ada yang mendefinisikan hadi>th dengan riwayat yang bertalian dengan sabda dan perilaku nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan atau diceritakan oleh sahabat-sahabatnya (untuk menentukan dan menjelaskan hukum Islam).[4] Sedangkan menurut terminologi, hadi>th diberi pengertian yang berbeda–beda oleh para ulama’. Perbedaan pandangan tersebut banyak dipengaruhi oleh terbatas dan luasnya obyek tinjauan masing–masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya. Menurut istilah ahli us}ul; pengertian hadith adalah
كل ما صدرعن النبى ص م غيرالقران الكريم من قول اوفعل اوتقريرممايصلح ان يكون دليلا لحكم شرعى
“Hadith yaitu segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain Al-Qur’a>n al-Kari>m, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum shara’.[5] Sedangkan menurut istilah fuqaha. Hadith adalah :

كل ماثبت عن النبى ص م ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب

“yaitu segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah – masalah fardhu atau wajib”.
Para ahli us}ul memberi pengertian yang demikian disebabkan mereka bergelut dalam ilmu us}ul yang banyak mempelajari tentang hukum syari’at saja. Dalam pengertian tersebut hanya yang berhubungan dengan shara’ saja yang merupakan hadith, selain itu bukan hadith, misalnya urusan berpakaian. Sedangkan para fuqaha mengartikan yang demikian di karenakan segala sesuatu hukum yang berlabel wajib pasti datangnya dari Allah SWT melalui kitab Al Qur’a>n. Oleh sebab itu yang terdapat dalam hadith adalah sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al Qur’a>n atau mungkin hanya penjelasannya saja. Sedangkan menurut ulama’ Hadith mendefinisikannya sebagai berikut:
كل ما اثر عن النبى ص م من قول اوفعل اوتقريراوصفة خلقية او خلقية
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal Nabi.
Menurut jumhur Muhaddithi>n sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai berikut:
مااضيف للنبى ص م قولااوفعلااوتقريرااونحوها
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan yang sebagainya”.
Perbedaan pengertian antara ulama’ us}ul dan ulama’ hadith diatas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing-masing. Ulama’ us}ul membahas pribadi dan perilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum shara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid di zaman sesudah beliau. Sedangkan ulama’ Hadith membahas pribadi dan perilaku Nabi SAW sebagai tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah SWT sebagai Uswah wa Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu ulama hadith mencatat semua yang terdapat dalam diri Nabi SAW baik yang berhubungan dengan hukum shara’ maupun tidak. Oleh karena itu hadith yang dikemukakan oleh ahli us}ul yang hanya mencakup aspek hukum shara’ saja, adalah hadith sebagai sumber tashri’. Sedangkan definisi yang dikemukan oleh ulama’ hadith mencakup hal-hal yang lebih luas. Disamping istilah hadith terdapat sinonim istilah yang sering digunakan oleh para ulama’ yaitu sunnah. Pengertian istilah tersebut hampir sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan. Maka dari itu kami kemukaan pengertiannya agar lebih jelas. Sunnah dalam kitab Us}ul Al-h{adi>th adalah sebagai beriku:

مااثرعن النبى ص م من قول اوفعل اوتقرير اوصفة خلقية اوسيرة سواء كان قبل البعثة اوبعدها

“Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya.
Dalam pengertian tersebut tentu ada kesamaan antara hadith dan sunnah, yang sama–sama bersandar pada Nabi SAW, tetapi terdapat kekhususan bahwa sunnah sudah jelas segala yang bersandar pada pribadi Muhammad baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi, misalnya mengembala kambing, menikah minimal umur 25 tahun dan sebagainya. Walaupun demikian terdapat perbedaan yang sebaiknya kita tidak berlebihan dalam menyikapinya. Sebab. keduanya sama–sama bersumber pada Nabi SAW.

B.     PERBUATAN NABI SAW
Sebelum memaparkan pokok bahasan pada makalah ini, terlebih dahulu penulis ingin menyajikan materi mengenai perbuatan Nabi SAW, agar tardapat pembahasan yang sinergis dengan bahasan selanjutnya. Kita sepakat bahwa Nabi Muhammad adalah uswah al-hasanah bagi setiap Muslim. Kita juga sepakat bahwa ajaran Islam yang beliau bawa mencakup semua umat dan berlaku untuk selamanya. Namun, apakah semua perbuatan beliau harus kita jadikan sebagai tolok ukur kebaikan? Apakah semua yang beliau lakukan harus kita tiru semirip mungkin tanpa menghiraukan kenyataan bahwa antara beliau dan kita di sini dan di masa ini ada perbedaan sosio-kultural yang sangat besar? Untuk menjawabnya kita perlu melihat pendapat para ulama dalam menyikapi peran ganda Nabi Muhammad.
Kaitannya dengan ini, Muhammad Husain Abdullah membagi perbuatan nabi menjadi:
1.      Perbuatan-perbuatan jibiliyah, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan manusia, seperti, berdiri, mendaki, makan, minum, berjalan, tersenyum, dan sebagainya. Tidak ada perselisihan lagi, bahwa perbuatan-perbuatan semacam ini hukumnya mubah (boleh), baik bagi rasul maupun bagi ummatnya.
2.      Perbuatan-perbuatan yang telah ditetapkan, bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan kekhususan bagi Rasul SAW. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak boleh diikuti oleh umatnya, seperti wajibnya shalat dhuha> dan bolehnya puasa wishal bagi beliau SAW. Kedua perbuatan tersebut merupakan kekhususan dari Allah bagi Rasul SAW.
3.      Pabuatan-perbuatan yang tidak termasuk perbuatan jibiliyah dan bukan pula merupakan kekhususan bagi Rasul SAW. Pada perbuatan-perbuatan semacam ini, umat Islam diperintahkan untuk mengikutinya.[6]
Hal senada disampaikan oleh para ulama lain seperti Al Juwayni,[7] Mohammad bin Muhammad[8], al-Amudy[9] dan Abu Bakr Muhammad al‑Sharkhashy.[10] Secara garis besar, mereka semua mengklasifikasikan perbuatan nabi seperti klasifikasi di atas, meskipun cara menguraikannya berbeda-beda sesuai gaya tulis masing-masing.
Hadith-hadith Nabi yang menerangkan perbuatan beliau yang muncul karena sifat manusiawi (bersifat naluriah/kewatakan), seperti cara makan, minum, berpakaian, berjalan, diam, bergerak berdiri, duduk den sebagainya hanya menunjukkan pada bolehnya tindakan seperti itu. Hadith jibiliyah seperti itu tidak dapat dipahami sebagai anjuran atau aturan yang harus diikuti kaum muslimin karena Nabi Muhammad melakukannya bukan dalam kapasitas sebagai rasul, namun sebagai pribadi. Perbuatan beliau yang harus diikuti hanyalah perbuatan yang di luar unsur kebiasaan manusia dan bukan termasuk hal yang khusus bagi beliau semata.
Pernyataan penulis di atas tidaklah berarti bahwa kita dilarang mengikuti beliau, atau seorang muslim yang berjalan, tidur, duduk, berpakaian dan sebagainya meniru persis perbuatan nabi adalah keliru, bukan itu maksudnya. Orang tersebut boleh melakukannya, namun dia harus menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak termasuk perbuatan sunnah. Karenanya, dia tidak berhak mendapatkan pahala atas perbuatan meniru tersebut. Namun, bisa saja dia mendapat point pahala karena kecintaannya pada Nabi Muhammad.
Penulis sadar bahwa ada sebagian orang yang mungkin tidak sependapat dengan pembagian ini dan menganggap bahwa perbuatan nabi mesti diikuti seluruhnya berdasarkan firman Allah dalam Al Qur’an, yaitu:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[11]
Ayat tersebut di atas tidak tepat untuk menyanggah pendapat penulis karena penulis juga sependapat bahwa Nabi Muhammad adalah panutan. Yang menjadi persoalan adalah apakah semua perbuatan nabi menjadi panutan ataukah hanya perbuatan shar’i saja? Jawaban penulis adalah tentu yang menjadi panutan hanyalah perbuatan shar’i saja.
Sebagian pihak mungkin mengajukan ayat berikut untuk membantah pendapat penulis. Ayat tersebut adalah:
…وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا…[12]
…Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…
Ayat tersebut sebenarnya bagian dari ayat yang berbicara tentang harta fay’ (rampasan dari musuh yang tidak mampu melawan) sehingga kurang relevan dengan bahasan kita. Namun, meskipun kita memberlakukan keumuman lafaznya sekalipun, ayat tersebut tetap tidak dapat menyanggah apapun karena penulis juga yakin bahwa apa yang dibawa rasulullah harus dilakukan, namun seperti sebelumnya, apakah itu berlaku umum atau ada pengecualian? Dalam hal ini penulis melihat ada banyak dalil yang membatasi keumuman penggalan ayat tersebut.
Untuk menguatkan argumen penulis, di bawah ini penulis utarakan hadith yang menunjukkan sisi kemanusiaan beliau disamping sisi kerasulannya. Rasulullah bersabda:
إنما أنا بشر  إذا أمرتكم بشيء من دينكم فخذوا به وإذا أمرتكم بشيء من رأي فإنما أنا بشر[13]
Sesungguhnnya aku adalah manusia. Jika aku memerintahkan kalian sesuatu dari perkara agama, maka ambillah. Jika aku memerintahkan sesuatu dari pendapatku sendiri, maka sesungguhnya aku juga manusia.
Hadith tersebut disebutkan oleh Imam Muslim pada bab khusus yang berjudul
باب وجوب امتثال ما قاله شرعا دون ما ذكره  صلى الله عليه وسلم  من معايش الدنيا على سبيل الرأي
arti bebasnya adalah “Bab tentang kewajiban mengikuti pendapat shar’i yang disabdakannya dan bukannya apa yang dituturkannya dari akal”.  Tampaknya Imam Muslim sependapat dengan penulis karena hadith tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa pendapat rasul harus didudukkan sesuai dengan kapasitas beliau. Sebagai rasul, beliau tidak mungkin salah, tetapi sebagai manusia beliau dapat saja melakukan kesalahan. Pendapat yang timbul dari sisi manusia ini tidak seluruhnya wajib untuk diikuti.
Perlu ditenkankan di sini bahwa penulis tidak bermaksud menafikan hak Nabi Muhammad untuk memberikan perintah yang tidak ada dalam ruang lingkup wahyu. Banyak dalil yang dapat dikemukakan untuk menegaskan bahwa Nabi Muhammad secara pribadi juga harus dipatuhi, selain Allah. Beliau mempunyai otoritas untuk membuat hukum baru yang tidak ditegaskan dalam al-Qur’a>n. Namun, itu di luar bahasan makalah ini.
C.    KEBERADAAN HADITH DI TENGAH PERAN GANDA NABI
Klasifikasi kapasitas Nabi Muhammad SAW sangatlah beragam. Baik sebagai seorang Nabi atau Rasul, kepala negara, hakim, orang biasa maupun yang lainnya. Untuk lebih jelasnya perlu diuraikan lebih terperinci tentang kapasitas beliau. Dalam hal tersebut, penulis akan membagi tindakan dan sabda beliau dalam empat kategori, yaitu:
1.      Kapasitas Sebagai Rasul.
Rasulullah adalah orang yang diutus pada manusia untuk menunjukkan jalan yang benar. Beliau memberitakan wahyu yang tidak mungkin diketahui oleh manusia yang lain. Dalam kapasitas beliau sebagai rasul, seluruh sabda beliau dapat menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Beliau harus diikuti dan dipatuhi oleh seluruh muslim, suka atau tidak. Dalil dari argumen ini adalah firman Allah dalam al-Qur’a>n tentang wajibnya taat kepada rasul yang tentunya telah banyak diketahui bersama.
Sebagai seorang rasul, beliau memiliki tugas untuk menyampaikan risalah kepada umatnya sebagaimana beliau menerima dari Allah SWT. Karena salah satu sifat yang dimiliki dan tugas yang harus dilakukan oleh seorang rasul ialah menyampaikan.[14] Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Najm ayat 4 yang artinya ialah sebagai berikut
÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
“ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan, bukan berdasarkan hawa nafsunya”[15]
2.      Kapasitas Nabi Sebagai Kepala Negara atau Pemimpin Masyarakat.
Rasulullah Muhammad tidak hanya hidup sebagai rasul. Beliau juga menjadi seorang pemimpin masyarakat, bahkan kemudian menjadi pemimpin negara. Sebagai seorang pemimpin, beliau menjalankan roda pemerintahan Islam di Madinah seperti layaknya kepala negara. Beliau mengadakan rapat dengan orang-orang kepercayaannya, mengirim surat­surat kenegaraan ke negeri lain, memimpin perang, mengatur masyarakat dan sebagainya.
 Berbagai hadith dalam kapasitas beliau sebagai seorang pemimpin banyak jumlahnya, di antaranya:
عن ابن عمر رضي الله عنهما ، قال : استشار رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأسارى أبا بكر فقال : قومك وعشيرتك فخل سبيلهم . فاستشار عمر فقال : اقتلهم . قال : ففداهم رسول الله صلى الله عليه وسلم « فأنزل الله عز وجل ( ما كان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن في الأرض ) إلى قوله ( فكلوا مما غنمتم حلالا طيبا ) قال : فلقي النبي صلى الله عليه وسلم عمر قال : كاد أن يصيبنا في خلافك بلا.
Dari Ibn Umar ra, Rasulullah bersabda: “Kemudian Nabi Muhammad bermusyawarah dengan Abu Bakar tentang para tawanan. Abu Bakar berkata: ‘Kaummu dan masyarakatmu, maka biarkan mereka’. Kemudian beliau bermusyawarah dengan Umar dan Umar berkata: ‘bunuh mereka’. Ibnu Umar kemudian mekanjutkan; kemudian rasul menyuruh para tawanan tersebut membayar fidyah, maka Allah menurunkan firmannya: (Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi) hingga kalimat (makanlah apa yang menjadi ghanimahmu secara halal dan baik). Ibnu Umar melanjutkan: kemudian rasul menemui Umar dan bersabda: ‘hampir saja ada bencana yang menimpa kita karena berbeda pendapat denganmu’.[16]
أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  لما أراد أن   يسرح معاذا  إلى اليمن استشار ناسا من أصحابه فيهم أبو بكر وعمر وعثمان وعلي وطلحة والزبير وأسيد بن حضير فاستشارهم فقال أبو بكر لولا أنك استشرتنا ما تكلمنا فقال إني فيما لم يوح إلي كأحدكم قال فتكلم القوم فتكلم كل إنسان برأيه
Sesungguhnya rasulullah SAW, ketika hendak mengutus Mu’adh ke Yaman, bermusyawarah pada para sahabatnya. Di antara mereka ada Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair dan Asad bin Hudlair. Abu Bakar berkata: ‘seandainya anda tidak mengajak kami bermusyawarah, maka kami tidak akan bicara. Nabi menjawab: ‘sesungguhnya aku, dalam sesuatu yang tidak diwahyukan padaku, sama saja dengan kalian’. Mu’adh berkata: ‘kemudian orang-orang mau berpendapat. Tiap orang berkata sesuai pendapatnya masing-masing’.[17]
Hadith di atas menunjukkan bahwa nabi, sebagai kepala negara, dapat mengambil keputusan yang keliru dan masih membutuhkan pendapat orang lain untuk memecahkan masalah kenegaraan.
3.      Kapasitas Nabi Sebagai Hakim
Keberadaan Hadith yang berkaitan dengan peran Nabi sebagai hakim dan manusia biasa. Hadith yang berkaitan ialah Hadith riwayat dari Umu Salamah ra, istri Nabi SAW yang artinya dari Rasulullah SAW. Bahwasanya beliau mendengar pertengkaran di (muka) pintu kamar beliau. Maka beliau keluar (dari kamar untuk) menemui mereka, kemudian beliau bersabda; “sesungguhnya saya ini adalah manusia biasa. Sesungguhnya orang yang terlibat pertengkaran mendatangi saya, maka mungkin saja sebagian dari kamu (yang bertengkar) lebih mampu (berargumentasi) daripada pihak lainnya, serhingga saya menduga bahwa dialah yang benar, lalu saya putuskan (perkara itu) dengan memenangkannya. Barang siapa yang saya menangkan (perkaranya) dengan mengambil hak saudaranya sesama Muslim, maka sesungguhnya keputusan itu adalah potongan api neraka yang saya berikan kepadanya; (Terserah apakah) dia harus mengambilnya ataukah menolaknya.” (Hadith riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Hadith tersebut memberi petunjuk tentang pengakuan Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai hakim. Dalam melaksanakan kedua fungsi itu, Nabi mengaku memiliki kekurangan, yakni mungkin saja dapat dikelabui oleh kepintaran pihak yang berperkara dalam mengemukakan argumen-argumen untuk memenangkan perkaranya, walaupun sesungguhnya apa yang dikatakannya itu tidak benar. Dalam mengadili perkara, pengetahuan Nabi terbatas hanya pada apa yang telah dinyatakan oleh pihak-pihak yang berperkara beserta alat-alat bukti yang mereka ajukan. Bila keputusan Nabi ternyata salah sebagai akibat dari kepintaran pihak yang berperkara, maka dosanya ditanggung oleh pihak yang telah berhasil mengelabui Nabi tersebut.

4.      Kapasitas Nabi Sebagai Pribadi Biasa.
Selain sebagai rasul atau pemimpin, Nabi Muhammad juga harus dinilai sebagai pribadi yang babas. Beliau melakukan hal-hal yang juga dilakukan orang lain di lingkungannya. Untuk point ini terdapat banyak sekali hadith yang bisa ditemukan dengan mudah di kitab-kitab hadith.[18] Hadith berikut dapat jadi contoh yang cukup representatif:
رأيت رسول الله على المنبر و عليه عمامة سوداء قد أرخى طرفيها بين كتفيه.
Aku melihat rasul di atas mimbar sedang beliau memakai serban hitam. Beliau menjulurkan kedua ujung serbannya di antara kedua pundaknya.[19]

Abu Bakar al-Baihaqy menyebutkan hadith ini dalam kitabnya yang membahas tentang tatakrama, seolah memberi kesan bahwa memakai serban seperti itu termasuk tindakan yang patut diteladani dan merupakan akhlak yang baik.[20] Konon, serban hitam kemudian dijadikan pertanda bahwa pemakainya adalah ningrat atau keturunan nabi. Menurut hemat penulis, hadith tersebut hanya gambaran tentang keadaan nabi dan serbannya saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan kesunnahan atau akhlak karena nabi sendiri tidak pernah memerintahkan umatnya untuk meniru “fashion” beliau.
Kita tahu bahwa pemakaian serban sudah dilakukan orang Arab jauh sebelum Nabi Muhammad lahir. Dengan begitu dapat kita simpulkan bahwa kaitan serban sebenarnya bukannya dengan shari’at Islam, tetapi dengan budaya masyarakat Arab, yang Nabi Muhammad adalah salah satu anggotanya. Serban sendiri sebenarnya bukan urusan ibadah dan di luar koridor pengaturan wahyu (kerasulan).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
  1. Ketika Muhammad berposisi sebagai Nabi dan Rasul dan menetapkan masalah-masalah nubuwah dan risalah, maka kita harus mengikuti semua perkataan dan perbuatannya.
  2. Saat Muhammad berposisi sebagai hakim dan menetapkan atau memutuskan hal-hal yang kerkenaan dengan masalah agama, maka kita harus mengambilnya.
  3. Ketika Muhammad sebagai kepala negara dan ia melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan administrasi kenegaraan, kita dapat mengambil atau berijtihad lain sesuai dengan kebutuhan zaman kita.
  4. Dan ketika Muhammad sebagai manusia biasa (kehidupan sehari-hari), maka kita ada kebebasan untuk mengikuti maupun meninggalkan.

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
1.      Hadith adalah Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat – sifat maupun hal ihwal Nabi.
2.      Perbuatan Nabi dibagi tiga, yaitu:
a.       Perbuatan-perbuatan jibiliyah, yaitu perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh kebanyakan manusia, seperti, berdiri, mendaki, makan, minum, berjalan, tersenyum, dan sebagainya. Tidak ada perselisihan lagi, bahwa perbuatan-perbuatan semacam ini hukumnya mubah (boleh), baik bagi rasul maupun bagi ummatnya.
b.      Perbuatan-perbuatan yang telah ditetapkan, bahwa perbuatan-perbuatan tersebut merupakan kekhususan bagi Rasul SAW. Perbuatan-perbuatan semacam ini tidak boleh diikuti oleh umatnya, seperti wajibnya shalat dhuha> dan bolehnya puasa wis}al bagi beliau SAW. Kedua perbuatan tersebut merupakan kekhususan dari Allah bagi Rasul SAW.
c.       Pabuatan-perbuatan yang tidak termasuk perbuatan jibiliyah dan bukan pula merupakan kekhususan bagi Rasul SAW. Pada perbuatan-perbuatan semacam ini, umat Islam diperintahkan umtuk mengikutinya
3.      Diantara kapasitas Nabi Muhammad ialah sebagai berikut:
a.       Sebagai Nabi dan Rasul dan menetapkan masalah-masalah nubuwah dan risalah, maka kita harus mengikuti semua perkataan dan perbuatannya.
b.      Sebagai hakim dan menetapkan atau memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan masalah agama, maka kita harus mengambilnya.
c.       Sebagai kepala negara dan ia melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan administrasi kenegaraan, kita dapat mengambil atau berijtihad lain sesuai dengan kebutuhan zaman kita.
d.      Sebagai manusia biasa (kehidupan sehari-hari), maka kita ada kebebasan untuk mengikuti maupun meninggalkan.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad Husain. Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.
al-Amudy, Ali bin Muhammad. Al-Ahkārn Fī UsūI al-Ahkām. Beirut: al-Maktabah al-Islamy.
Anwar, Dessy. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Abdi Tama, 2001.
al-Baihaqy, Abu Bakar. al-‘Adab. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1986.
al-Hakim, Muhammad bin Abdullah.  Al-Mustadrak ‘Alā al-Sihainah. Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1990
al-Juwayni, Abdul Malik. Al-Burhān Fī UsūI Fiqh. Mesir: Al Wafa’t.
Muhammad, Muhammad bin. Kitāb Al-Taqrīr wa al-Tahri>r. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
al-Naysabury, Muslim bin Hujjaj. Sahih Muslim. Beirut: Dār Ihyā’i al-Turāth al-‘Arabī, 1835.
al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir, 1971.
al-Qarni, Aidh. Muhammad Sang Idola. Surabaya: La Raiba Bima Amanta, 2006.
al-Sharkhashy, Abu Bakr Muhammad. UsūI al-Sharkhashī. Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993.
al-Tabrany, Abu al-Qasim. Al- Mu’jam al-Kabīri. Mosul: Maktabah UIuwah, 1983.
WJS, Poerwodarminto. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Jakarta: Balai Pustaka, 1968.
Zein, Muhamad Ma’shum. Ulum al-Hadith dan Mustalah al-Hadith. Jombang: Darul Hikmah, 2008.



[1]  Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), 91.
[2]  Ibid., 546.
[3]  Poerwodarminto WJS, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Jakarta: Balai Pustaka, 1968), 338.
[4]  Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Karya Abdi Tama, 2001), 163.
[5]  Muhamad Ma’shum Zein, Ulum al-Hadith dan Mustalah Hadith (Jombang: Darul Hikmah, 2008), 13.
[6]  Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), 54.
[7]  Abdul Malik Al Juwayni, Al-Burhān Fī UsūI Fiqh (Mesir: Al Wafa’t, tth) , 321.
[8]  Muhammad bin Muhammad, Kitāb al-Taqrīr  wa al-Tahri>r (Beirut: Dar al-Fikr, 1996),  403.
[9]  Ali bin Muhammad al-Amudy, Al- Ahkārn Fī UsūI al-Ahkām, (Beirut: al-Maktabah al-Islamy, tth), 227-228.
[10]  Abu Bakr Muhammad al-Sharkhashy, UsūI al-Sharkhashī (Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1993),  86-87.
[11]  al-Qur’a>n, 33: 21.
[12]  Ibid., 59: 7.
[13]  Muslim bin Hujjaj al-Naysabury, Sahīh Muslim, (Beirut: Dār Ihyā’i al-Turāth al-‘Arabī, 1835),.

[14]  Aidh Al-Qarni, Muhammad Sang Idola (Surabaya: La Raiba Bima Amanta, 2006),  152.
[15]  al-Qur’an, : 4.
[16]  Muhammad bin Abdullah al Hakim,  Al-Mustadrak ‘Alā al-Sihainah (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1990),  359.
[17]  Abu al-Qasim Al-T abrany,  al- Mu’jam al-Kabīri (Mosul: Maktabah UIuwah, 1983),  67.
[18]  Cara yang paling mudah untuk mencari hadith dalam kategori ini adalah dengan mencari hadith dengan kata kunci كان رسول الله  atau langsung melihat kitab Fa>id al-Qadīr karya al Manawy pada bab huruf kāf pada hadith yang berawalan dengan frase  كان.
[19]  Abu Bakar al Baihaqy, al-‘Adab, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1986), 359 dari riwayat Muslim, Abu Daud, Ibn Majah, Nasa’i dan Ahmad bin Hambal.
[20]  Ibid., 359.

1 komentar: