DEFINISI FILSAFAT ILMU DAN TUJUANNYA
Abstrak
Kata
kunci : Filsafat Ilmu; Definisi, Ruang Lingkup, Objek, Problem dan Tujuan.
Makalah ini membahas mengenai definisi filsafat ilmu, ruang
lingkup filsafat ilmu, problem filsafat ilmu, objek filsafat ilmu maupun tujuan
filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan
suatu akumulasi pemikiran reflektif,
radikal, sistematis mengenai berbagai persoalan ilmu dan dalam hubungannya
dengan segala aspek kehidupan manusia. Dalam salah satu pandangan objek
filsafat ilmu merupakan bagian dari objek filsafat secara umum yaitu objek
formal yang diartikan sebagai sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan
objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya. Sedangkan objek
materialnya ialah segala yang ada, baik yang ada dalam kenyataan, pikiran
maupun dalam kemungkinan meskipun ada yang berbeda pandangan dalam mengemukakan
objek formal dari filsafat ilmu itu sendiri.
Berkenaan dengan ruang lingkup dan problem-problem filsafat
ilmu, banyak tokoh yang mengemukakannya, antara lain Peter Angeles, A.
Cornelius Benjamin, Arthur Danto, Edward Madden, Ernest Nagel dan P.H Nidditch
yang mempunyai pernyataan tidak sama namun dapat dikelompokkan bahwa
problem-problem tersebut ialah mengenai epistemologi, metodologi, metafisik,
etis, logis dan estetik tentang ilmu. Problem-problem ini juga dapat menjelaskan
lingkupan dari filsafat ilmu.
Adapun tujuan filsafat ilmu ialah sebagai berikut, pertama;
Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara
menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu. Kedua; Memahami
sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang,
sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories. Ketiga;
Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di
perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang alamiah dan
non-alamia. Keempat; Mendorong pada calon ilmuan dan iluman untuk
konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya. Dan Kelima; Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu
dan agama tidak ada pertentangan.
BAB I
PENDAHULUAN
Kata filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan, baik secara
substansial maupun historis. Kehadiran ilmu tidak dapat dipisahkan dari
peran penting filsafat, dan begitu juga sebaliknya bahwa perkembangan ilmu akan
memperkuat keberadaan filsafat. Pada zaman
Plato sampai pada masa Al-Kindi,
batas antara filsafat dan ilmu
pengetahuan boleh dikatakan tidak ada.
Seorang filosuf pasti menguasai
ilmu pengetahuan. Perkembangan daya berfikir manusia yang mengembangkan filsafat
pada tingkat praktis dikalahkan oleh
perkembangan i1mu yang didukung oleh
teknologi. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit dibandingkan
dengan wilayah kajian ilmu. Sehingga ada anggapan filsafat tidak dibutuhkan
lagi.
Filsafat kurang membumi sedangkan ilmu lebih
bermanfaat dan lebih praktis. Padahal filsafat menghendaki pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan
universal dan hal ini tidak dapat diperoleh dalam ilmu. Sehingga filsafat
dapat di tempatkan pada posisi dimana pemikiran manusia tidak mungkin dapat
dijangkau oleh ilmu.
Ilmu bersifat pasteriori (kesimpulan
ditarik setelah melakukan pengujian secara berulang), sedangkan filsafat
bersifat priori (kesimpulan ditarik tanpa pengujian tetapi
pemikiran dan perenungan). Keduanya sama-sama menggunakan
aktivitas berfikir, walaupun cara berfikirnya berbeda. Keduanya juga sama-sama
mencari kebenaran. Kebenaran
filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat sendiri tetapi hanya dapat
dibuktikan oleh teori keilmuan melalui observasi ataupun eksperimen
untuk mendapatkan justifikasi.
Filsafat
dapat merangsang lahirnya keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai
observasi dan eksperimen yang
melahirkan ilmu-ilmu. Hasil kerja filosofis dapat menjadi pembuka bagi lahirnya
suatu ilmu, oleh karena itu filsafat disebut
juga sebagai induk ilmu (mother of science). Untuk kepentingan
perkembangan ilmu, lahir disiplin filsafat yang mengkaji ilmu
pengetahuan yang dikenal sebagai filsafat ilmu pengetahuan. Dalam hal ini,
penulis lebih menitikberatkan pada kajian filsafat ilmu dan tujuannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat
Sebelum memberikan
gambaran dan penjelasan mengenai filsafat ilmu, terlebih dahulu akan memperkenalkan
filsafat itu sendiri supaya pada
pembahasan selanjutnya tidak menimbulkan keraguan dan kebingungan untuk
memahaminya. Secara etimologi, ada dua pendapat untuk mendefiniskan filsafat. Pertama; asal kata filsafat ialah dari
bahasa Arab. Pendapat ini dinyatakan di antaranya oleh Harun Nasution.
Menurutnya, kata filsafat itu berasal dari bahasa Arab. Falsafah, dengan
timbangan fa’lala, fa’lalah dan fi’lal. Dengan demikian, menurut Harun
Nasution, kata benda dari falsafah seharusnya falsafah dan filsaf. Masih
menurutnya, dalam bahasa Indonesia banyak terpakai kata filsafat, padahal bukan
berasal dari bahasa Arab, falsafah dan bukan dari kata philosopy. Harun
Nasution mempertanyakan, apakah kata fil berasal dari bahasa Inggris dan safah
dari kata Arab, sehingga
terjadilah gabungan antara keduanya, yang kemudian menimbulkan kata filsafat[1].
Kedua, filsafat dalam bahasa Inggris itu berasal dari Yunani yang
diarabkan[2]. Dengan
mengutip Poedjawijanta, Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa kata filsafat berasal
dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang
dari kata Yunani. Kata Yunaninya adalah
philosophia yang merupakan kata majemuk yang terdiri atas philo dan sophia;
philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu
berusaha mencapai yang diinginkannya itu; sophia artinya kebijakan, yang
artinya pandai, pengertian yang mendalam. Dengan demikian, filsafat berarti
keinginan yang mendalam (cinta) untuk mendapat kebijakan, atau keinginan yang
mendalam untuk menjadi bijak. Orang yang mempunyai karakter seperti itu disebut
filosof. Seorang yang berkeinginan mendalam
untuk mendapat kebijakan, secara bahasa bisa disebut filosof. Namun
permasalahannya jelas tidak sesederhana itu. Sebatas mana orang bisa disebut
filosof? Apakah bijak atau kebijaksanaan (sophia) itu? Tukang kayu saja menurut
Homerus bisa juga disebut orang bijak (filosof). Abuddin Nata menjelaskannya tidak jauh berbeda bahwa secara etimologi
filsafat berasal dari kata philo yang
berarti cinta, dan kata shopos yang
berarti ilmu atau hikmah, berarti filsafat adalah cinta terhadap ilmu atau
hikmah. Secara termenologi filsafat adalah suatu kegiatan atau aktifitas yang
menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya[3].
Itulah yang kemudian oleh Asghar Ali Engineer Al-Qur’an disebut dengan Al-Qur’an Al-Hakim (Kitab Kebijaksanaan)[4].
Selain definisi di atas, terdapat beberapa
definisi filsafat menurut para ahli, antara lain:
a. Alfred Nortt Whitehead
menyatakan bahwa filsafat adalah kajian yang lebih menekankan pada menjadi (becoming) dari pada berada (being), perubahan ketimbang persistensi,
hal-hal baru yang kreatif ketimbang pengulangan mekanis, dan
peristiwa-dan-proses ketimbang substansi. Menurutnya filsafat merupakan
sebentuk monisme karena dia memiliki ciri-ciri umum dari semua peristiwa yang
terpadu.[5]
b. Tomson mengatakan bahwa filsafat
adalah melihat seluruh masalah tanpa ada batas atau implikasinya. Filsafat
dipandang sebagai suatu bentuk pemikiran yang konsekuen tanpa kenal kompromi
tentang hal-hal yang harus diungkap secara menyeluruh dan bulat. Dengan tujuan
untuk menemukan hakekat dari masalah itu.[6]
c. Hendra Halamuan Sipayung
mengatakan bahwa filsafat adalah upaya menjawab pertanyaan yang bersifat
menyeluruh tentang manusia, alam dan Tuhan untuk sampai kepada hal yang sangat
mendasar[7].
Dalam catatan Peter Adamson Al-Kindi menyatakan ” Philosophy is a collective enterprise, o that even if every
philosopher contributes only a little, ‘‘if one collects together the little
that each one of these people has attained of the truth, he result is quite
considerable[8]”
(Filsafat adalah perusahaan kolektif,
bahkan jika setiap filosuf memberikan kontribusi hanya sedikit, jika
seseorang mengumpulkan dalam kelompok kecil bahwa setiap orang dari orang-orang
ini telah mencapai kebenaran)
d. Al-Farabi juga
mengungkapkan bahwa filsafat [9]
adalah “philosophy is nothing else
than thought, that is, the science of concepts. The end of philosophy is to
know God as the Creator of heaven and earth. (ialah ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki
hakekatnya yang sebenarnya)”. Al-Farabi ini dalam bahasanya Tood Lowson ia
adalah filosuf muslim pertama “The one
philosopher who first raised the issues that brought about the inclution of
religion in philosophy proper was Abu Nasr Al-Farabi (d.339/950)[10].
e. Hendri Corbin mengatakan
bahwa filsafat adalah “Islamic
philosophy as the work of thinkers belonging to a religious community
characterized by the Quranic expression ahl al-kitab[11]”
(filsafat islam adalah pekerjaan para pemikir yang mempunyai karakteristik
komunitas keagamaan dengan mengekpresikan nilai-nilai al-qur’an).
f. F.W. Nietzshe mengomentari
bahwa pada dasarnya filsafat memiliki dua prinsip yang secara keseluruhan
membentuk kabar baik “berkehendak= menciptakan” dan “kehendak=kegembiraan”,
kehendak adalah menciptakan nilai-nilai baru. Kehendak itulah sebutan dari
pembebas dan pembawa kegembiraan. Inilah yang menjadi ajaran inti dari kajian
Zaratustra[12].
Filsafat yang akrab
dengan penyebutan salah satu ilmu akademis yang mengajak kita untuk berfikir
menurut tata tertib (logika) dengan beban (tidak terikat pada tradisi dogma dan
agama) dan sedalam-dalamnya hingga sampai pada dasar-dasar persoalan. Inalah
yang kemudian melahirkan polemik dikalangan filosuf muslim, seperti yang
dikatakan oleh Al-Ghazali bahwa metode berfikir dunia filosuf penuh dengan
kerancuan, kerancuan pada masalah ketuhanan dan kosmologi[13]. Dalam
catatan Frank Griffel al-Ghazali menjelaskan inkoherensi para filosuf sebagai
"bantahan" (Rodd) dari gerakan filosofis “al-gazali
describes the incoherence of the philosophers as a “ refutation” (rodd) of the philosophical movement “[14].Tetapi
seorang Ibn Rusyd menyanggahnya dengan jelas bahwa kerancuan berfikirnya para filosuf
yang disebutkan Al-Ghazali itu tidak etis justru sebaliknya, statemen itu
adalah kerancuan dalam kerancuan[15].
Berdasarkan beberara
uaraian di atas kita dapat memberikan pendapat bahwa filsafat adalah studi
tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan
dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk
itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir
dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk
studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Meminjam
bahasanya Marx bahwa filsafat bukanlah hanya sekedar menginterpretasikan dunia,
dengan berbagai jalan, tetapi yang pokok adalah bagaimana mengubah dunia.[16]
B.
Definisi Filsafat Ilmu
Lahirnya ilmu menimbulkan persoalan-persoalan yang
berada di luar minat, kesempatan, atau jangkauan dari ilmuan sendiri untuk
menyelesaikannya. Tetapi, ada sebagian cendikiawan yang dengan budinya mencoba
menemukan jawaban-jawaban yang kiranya tepat terhadap persoalan yang menyangkut
ilmu itu. Mereka adalah philosophers yang dengan pemikiran reflektif berusaha
memecahkan persoalan-persoalan tersebut. Pemikiran para filosuf mengenai ilmu
merupakan philosophy of science. Berbagai definisi philosophy of science dari
para filosuf dapat dikutipkan sebagai berikut[17]:
Robert Ackerman
"philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific
opinions by comparison to proven past views, but such a philosophy of
science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific practice". (Filsafat ilmu dalam suatu segi
adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan
perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari
pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu
kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual).
Lewis White Beck
"Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific
thinking and tries to determine the
value and significance of scientific enterprise as a whole". (Filsafat
ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta
mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan).
A. Comelius Benjamin "That philosopic disipline which
is the systematic study of the nature of science, especially of its methods,
its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of
intellectual discipines". (Cabang
pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya
metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta
letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual)[18].
Stephen R. Toulmin
"Asa discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate
the elements involved in the process of scientific inquiry observational
procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so
on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and
metaphysics". (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mancoba pertama-tama
menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengematan, pola-pola
perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan
metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi
kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi
praktis, dan metafisika)[19].
Berdasarkan pendapat tersebut
di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah
kefilsafatan yang ingin menjawab
pertanyaan mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari segi ontologis,
epistemologis maupun aksiologisnya.
Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu, seperti:
1. Obyek apa yang ditelaah
ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan
antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan
pengetahuan? (Landasan ontologis)
2. Bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedumya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mengadakan
pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran
itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
3. Untuk apa pengetahuan yang
berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan
antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral/profesional? (Landasan aksiologis). (Jujun S.
Suriasumantri, 1982)
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapatlah dimaknai bahwa
filsafat ilmu merupakan suatu akumulasi pemikiran reflektif, radikal, sistematis mengenai berbagai persoalan
ilmu dan dalam hubungannya dengan segala aspek kehidupan manusia.
C.
Obyek Formal dan Obyek
Material Filsafat Ilmu
Menurut Dr. Amsal
Bakhtiar, filsafat memiliki dua objek; material dan formal. Objek material
filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada di sini mencakup “ada yang
tampak” dan “ada yang tidak tampak”. “Ada yang tampak” adalah dunia empiris,
sedangkan “ada yang tidak tampak” adalah alam metafisika[20]. Masih
menurut Bakhtiar, sebagian filosof membagi objek material filsafat atas tiga
bagian, yaitu; yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada
dalam kemungkinan[21]. Menurut
Harold H. Titus (1984 : 39) istilah material dalam filsafat itu dapat diberi
definisi dengan beberapa cara : pertama,
material adalah atom materi sendiri dan yang dapat bergerak merupakan
unsur-unsur yang membentuk alam dah bahwa akal serta kesadara (consciousness) termasuk di dalamnya
segala proses psikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan
menjadi unsur-unsur fisik. Kedua,
bahwa doktrin alam semesta dapat ditarsirkan seluruhnya dengan sains fisik[22]. Adapun
objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan
objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya.
D.
Lingkupan Filsafat Ilmu
Lingkupan filsafat ilmu sebagai dijelaskan oleh para filosuf
berbeda-beda antara ahli filsafat yang satu dengan yang lain. Berikut
ini dijelaskan beberapa pendapat para tokoh:
1. Peter Angeles
Menurut Peter, filsafat
ilmu mempunyai empat bidang konsentrasi yang utama
a. Telah mengenai berbagai konsep, praanggapan, dan motode
ilmu, berikut analisis, perluasan, dan penyusunannya untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat.
b. Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu
berikut struktur perlambangnya.
c. Telaah mengenai saling kaitan di antara berbagai ilmu.
d. Telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal
yang berkaitan dengan pencerapan dan pemahaman
manusia terhadap realitas, hubungan logika dan matematikan dengan realitas,
entitas teoritis. sumber dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar
kemanusiaan.[23]
2. A. Cornelius Benjamin
Filosuf ini membagi pokok
soal filsafat ilmu dalam tiga bidang:
a.
Telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah, dan struktur logic dari
sistem perlambang ilmiah. Telaah ini banyak menyangkut logika dan teori
pengetahuan dan teori umum tentang tanda.
b.
Penjelasan mengani konsep dasar, praanggapan, dan pangkal pendidian
ilmu, berikut landasan-landasan empiric,
rasional, atau pragmatic yang menjadi tempat tumpuannya. Segi ini dalam banyak
hal berkaitan dengan metafisika, karena meencakup telaah terhadap
berbagai keyakinan mengenai dunia kenyataan, keseragaman alam dan rasionalitas
dari proses alamiah.
c.
Aneka telaah mengenai saling kait diantara berbagai ilmu dan implikasinya
bagi suatu teori alam semesta seperti misalnya idealisme, materialisme, monisme
atau pluralisme.[24]
3.
Arthur Danto
Filosuf ini menyatakan sebagai berikut :
Lingkupan filsafat ilmu cukup luas mencakup kutub
yang satu persoalan-persoalan konsep yang demikian erat bertalian dengan
ilmu itu sendiri sehingga pemecahannya dapat seketika dipandang sebagai suatu sumbangan kepada ilmu dari pada kepada filsafat,
dan pada kutub yang lain persoalan-persoalan begitu umum dengan suatu pertalian filsafati sehingga
pemecahannya akan sebanyak merupakan suatu sumbangan kepada metafisika atau epistemologi seperti kepada
filsafat ilmu yang sesungguhnya. Begitu pula, rentangan macula-masalah yang
diselidiki oleh filosuf-filosuf ilmu dapat demikian sempit sehingga menyangkut
keterangan tentang suatu konsep tunggal yang dianggap penting dalam suatu
cabang ilmu tunggal, dan begitu umum sehingga bersangkutan
dengan ciri-ciri struktural yang tetap bagi semua cabang ilmu yang diperlakukan
sebagai suatu himpunan.[25]
4. Edward Madden
Filosuf ini berpendapat
bahwa apapun lingkungan filsafat umum tiga bidang tentu merupakan bahan
perbincangannya.
a.
Probabilitas
b.
Induksi
c.
Hipotesis[26]
5. Ernest Nagel
Dari hasil
peneyelidikannya, filosuf ini menyimpulkan bahwa filsafat ilmu mencakup tiga
bidang luas :
a.
Pola logis yang ditunjukkan
oleh penjelasan dalam ilmu.
b.
Pembentukan konsep ilmiah
c.
Pembuktian keabsahan
kesimpulan ilmiah.[27]
6. P.H Nidditch
Menurut filosuf ini,
lingkupan filsafat ilmu luas dan beraneka ragam. Isinya dapat digambarkan
dengan mendaftar serangkaian pembagian dwi bidang yang saling melengkapi:
a.
Logika ilmu yang berlawanan
dengan epistemologi ilmu
b.
Filsafat ilmu-ilmu kealaman
yang berlawanan dengan filsafat ilmu-ilmu kemanusiaan
c.
Filsafat ilmu yang
berlawanan dengan telaah masalah-masalah filsafat dari seuai ilmu khusus.
d.
Filsafat ilmu yang
berlawanan dengan sejarah ilmu.
Selain
itu, telaah mengenai hubungan ilmu dengan agama juga termasuk dalam ruang
lingkup filsafat i1mu.
Ruang lingkup filsafat (scope) filsafat
ilmu di atas tentu saja masih perlu dilengkapi dan diperjelas dengan kajian mengenai problem-problem yang terdapat
dalam filsafat ilmu. Berbicara mengenai problem filsafat ilmu pasti
tidak bisa dilepaskan dari problem umum dari kajian filsafat itu sendiri
sebagai induk dari filsafat ilmu. Problem
filsafat secara dapat dikelompokkan ke dalam enam hal pokok. Pertama, masalah
pengetahuan yang dikaji secara mendalam dalam cabang filsafat yang
dikenal dengan nama epistemologi. Kedua, masalah keberadaan yang dibahas secara metafisika atau ontologi. Ketiga, masalah
metode yang dibahas dalam cabang filsafat
yang dikenal dengan nama metodologi. K,empat, masalah teori
penyimpulan yang ditelaah oleh cabang filsafat
yang disebut logika. Kelima, masalah etika moral yang dikaji secara mendasar
oleh cabang ilmu filsafat yang
disebut etika. Keenam, masalah keindahan yang dikaji sera mendalam oleh cabang
filsafat yang disebut estetika.[28]
Oleh karena filsafat ilmu merupakan suatu bagian
dari filsafat, maka problem dalam filsafat ilmu secara sistematis juga
dapat digolongkan menjadi enam kelompok.[29]
E.
Problem-problem Dalam
Filsafat Ilmu
Problem menurut
definisi A. Cornelius Benjamin adalah “Suatu situasi praktis atau teoritis yang
untuk itu tidak ada jawaban lazim atau otomatis yang memadai, dan oleh sebab
itu memerlukan proses-proses.
Namun untuk mendapat
gambaran yang lebih jelas, ada beberapa pendapat dari para filosuf:
1.
Cornelius Benjamim merinci aneka
ragam problem itu dalam tiga bagian:
a.
Persoalan mengenai
hubungan-hubungan teoritis antara ilmu yang satu dengan yang lain dan antara
ilmu-ilmu dengan usaha-usaha manusia yang lain untuk memahami, menilai, dan
mengendalikan dunia.
b.
Persoalan yang bersangkutan dengan
implikasi-implikasi teoritis dari kebenaran-kebenaran tertentu dalam ilmu
sejauh ini mengubah pertimbangan-pertimbangan kita dalambidang-bidang lain dari
pengalaman kita.
c.
Persoalan yang bertalian dengan
efek-efek praktis, yakni efek-efek dari penemuan-penemuan ilmiah terhadap
misalnya bentuk pemerintahan, cara hidup, kesehatan dan rasa senang.
2.
Philip Wiener
Menurut beliau para filosuf ilmu dewasa ini membahas
problem-problem yang menyangkut:
Ø
Struktur logis atau ciri-ciri
metodologis umum dari ilmu-ilmu
Ø
Saling hubungan antara
ilmu-ilmu.
Ø
Hubungan ilmu-ilmu yang
sedang tumbuh dengan tahap-tahap lainnya dari peradaban, yaitu kesusilaan,
politik, seni dan agama.
Oleh karena filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari
filsafat seumunya, problem-problem dalam filsafat ilmu secara sistematis juga
dapat digolongkan menjadi enam kelompok [30]:
a.
Problem-problem epistemologis
(teori pengetahuan[31])
tentang ilmu.
b.
Problem-problem metafisis (oleh
Whitehead disebut dengan deskripsi metafisis[32])
tentang ilmu.
c.
Problem-problem metodologis
tentang ilmu.
d.
Problem-problem logis tentang
ilmu.
e.
Problem-problem etis tentang ilmu.
f.
Problem-problem estetis tentang
ilmu.
Epistemologis
adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti
kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan,
validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran.
Metafisika pada belakangan ini dipandang sebagai teori
mengenai apa yang ada. Dalam pandangan al-farabi metafisik adalah : “treats of things which are separate from
matter”[33].
Metodologi ilmu
merupakan penelaahan terhadap metode yang khusus dipergunakan dalam suatu ilmu.
Ahirnya,
implikasi-implikasi etis dan aspek-aspek estetis serta analisis, pemaparan,
penilaian, dan penafsiran mengenai peranan suatu ilmu dalam peradaban manusia
sejak dahulu sampai sekarang merupakan pembahasan-pembahasan bercorak filsafati
yang cukup menarik untuk diperbincangkan.
F.
Tujuan Filsafat Ilmu
Segala sesuatu yang terdapat di alam ini diciptakan dengan
fungsinya, dengan kata lain bahwa tidak ada materi yang tidak bermanfaat tak
terkecuali lahirnya filsafat ilmu. Lahirnya filsafat ilmu memberikan jawaban
terhadap persoalan yang muncul terutama yang berhubungan dengan pengetahuan
manusia. Oleh karena, di antara tujuannya ialah:
1.
Mendalami
unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber,
hakikat dan tujuan ilmu.
2.
Memahami
sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang,
sehingga kita dapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara histories.
3.
Menjadi
pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan
tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang alamiah dan non-alamiah.
4.
Mendorong
pada calon ilmuan dan iluman untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan
mengembangkanya.
5.
Mempertegas
bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada
pertentangan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu
akademis yang mengajak kita untuk berfikir menurut tata tertib (logika) dengan
beban (tidak terikat pada tradisi dogma dan agama) dan sedalam-dalamnya hingga
sampai pada dasar-dasar persoalan.
Filsafat
ilmu merupakan suatu akumulasi pemikiran reflektif, radikasi, sistematis
mengenai berbagai personal ilmu dan dalam hubungannya dengan segala aspek
kehidupan manusia. Adalah cabang epistemology yang menelaah secara sistematis
sifat dasar ilmu, metode-metode, konsep-konsepnya, praanggapan-praanggapannya,
serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan.
Obyek
material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan
yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Obyek formalnya adalah hakekat
(esensi) pengetahuan, problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti apa
hakekat ilmu itu sesungguhnya.
Lingkupan
filsafat ilmu, meskipun banyak pendapat dari kalangan filosuf, namun dapatlah
ditarik sebuah kesimpulan bahwa dan ruang lingkup tersebut meliputi dasar,
pra-anggapan dan pangkal pendirian ilmu, metodologi ilmu, dan aneka telaah
mengenai saling kait antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu teori
alam semesta.
Hasil usaha manusia untuk mencari hasil
kebenaran (filsafat ilmu/ilmu filsafat) dengan menggunakan metode yang berbeda
dan dari hasil pengamatan atau observasi, menghasilkan suatu persoalan atau
problem. Terutama munculnya suatu pandangan yang berbeda. Karena sama-sama
mepertahankan pendapat masing-masing yang telah diperoleh melalui pengamatan
atau empiris masing-masing. Dan salah satu contohnya adalah antara filosuf
auguste comte dan Papper yang mempunyai pandangan dan metode yang berbeda dalam
epistemologi.
Tujuan filsafat ilmu ialah Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, memahami sejarah pertumbuhan
dan perkembangan ilmu, menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam
mendalami studi di perguruan tinggi, mendorong calon ilmuan dan iluman untuk
konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkanya dan mempertegas bahwa dalam
persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
DAFTAR PUSTAKA
Adamson, Peter. Al-Kindi. New York:
Oxford University, 2007.
Arifin, Muzayyin. Filsfat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.
Asy’ari, Abuhasan. Ibnu Rusyd. Jakarta: Dian Rakyat, 2009.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Barbour, Ian G. Menemukan Tuhan Dalam Sains Kontemporer dan Agama. Bandung:
Mizan, 2005.
Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy. London and New York: Islamic
Publications for The Institute Of Ismaili
Studies, 1977.
Deleuze, Gilles. Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Ikon Teraliteria, 2002.
Engineer, Asgar Ali. Islam dan Pembebasan. Yogyakarta, LKiS, 2007.
Al-Ghazali. Taha>fut al-Fala>sifah.
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu. Jogjakarta: Liberty Jogjakarta, 2007.
Griffel, Frank. Al-Gazali’s Philosophycal Theology. New York:
Oxford University Press, 2009.
Hammond, Rev. Robert. The
Philosophy of Alfarabi. New York: The Hobson Book Press, 1947.
Hidayat, Ainurrahman. Buku Ajar
Filsafat Ilmu. Pamekasan Press: STAIN, 2006.
Lowson, Tood. Reason and
Inspiration in Islam. New York: IB. Tauris Publishers, 2005.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Ramly, Andi Muawiyah. Peta
Pemikiran Karl Marx: Matrealisme Dialektis dan Matrealisme Historis. Yogyakarta:
LKiS, 2007.
Rusyd, Ibn. Taha>fut al-Taha>fut (Tanggapan
Terhadap Taha>fut al-Fala>sifah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Sipayung, Hendra Halamuan. Berfikir
Seperti Filosof. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
Shimogaki, Kazou. Kiri Islam. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Santoso, Listiyonu, dkk. Epistemologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2007.
Whitehead, Alfred North. Mencari
Tuhan Sepanjang Zaman. Bandung: Mizan, 2009.
[1]. Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta :
Rajawali Pers, 2010), 4-5.
[2]. Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), 1.
[3] Ibid. 5.
[4] Asgar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, (Yogyakarta: LKiS, 2007), 47.
[5] Ian G.
Barbour, Menemukan Tuhan Dalam Sains
Kontemporer dan Agama, (Bandung: Mizan, 2005), 214.
[6].
Muzayyin Arifin, Filsfat Pendidikan
Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005), 4.
[7]. Hendra
Halamuan Sipayung, Berfikir Seperti
Filosof, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), 21.
[8]. Peter
Adamson, Al-Kindi, (New York: Oxford
University, 2007), 22-23.
[9] Rev. Robert Hammond, The Philosophy of Alfarabi, (New York: The Hobson Book Press,
1947), xiii.
[10] Tood Lowson, Reason and Inspiration in Islam, (New York: IB. Tauris Publishers,
2005), 88.
[11] Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, (London and New York: Islamic
Publications for The Institute Of Ismaili Studies, 1977), xviii.
[12]. Gilles
Deleuze, Filsafat Nietzsche,
(Yogyakarta: Ikon Teraliteria, 2002), 118.
[13]. Al-Ghazali,
Taha>fut
al-Fala>sifah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), 65.
[14] Frank
Griffel, Al-Gazali’s Philosophycal Theology,
(New York: Oxford University Press, 2009), 98
[15] Ibn Rusyd, Taha>fut al-Taha>fut
(Tanggapan Terhadap Tafud Al-Falasifah), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2004), 8-11.
[16] Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx: Matrealisme Dialektis dan Matrealisme
Historis, (Yogyakarta : LKiS, 2007), 76.
[17]. The
Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jogjakarta:
Liberty Jogjakarta, 2007), 57-61.
[18] Ibid., 58.
[19] Ibid., 61.
[20] Untuk kajian metafisika lebih lanjut lihat, Metode Dekonstruksi Jacqoes Derrida: Kritik
Atas Metafisika dan Epistemologi Modern, dalam Listiyonu Santoso, Epistemologi Kiri, 248.
[21] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 1.
[22] Listiyonu Santoso, dkk, Epistemologi Kiri, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 39.
[23] Peter A Angeles,
Dictionary of Phlosophy (1981), 250. Dalam Pengantar Filsafat Ilmu, The Liang
Ghe, (Yogyakarta: Liberty, 2004), 65.
[24] A Cornilius Benjamin, Science, Philoshopy of, dalam
ibid, Pengantar Filsafat Ilmu, 65.
[25] Ibid., 65.
[26] Erward H Madden, Pierce and Current Issues in the
Philoshopy of Science dalam ibid, Pengatar Filsafat Ilmu, 67.
[27] Ernest Nagel, The Structure of Science: Problems in
the Logic of Scientific Explanation, 1974 dalam ibid, Pengantar Filsafat
Ilmu, 67.
[30] Ibid, Pengantar Filsafat Ilmu , 83.
[31] Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), 93. Untuk kajian
epistemologi ilmu lebih lanjut lih, Kazou Shimogaki, Kiri Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000), 32-38.
[32] Alfred North Whitehead, Mencari Tuhan Sepanjang Zaman, (Bandung: Mizan, 2009), 98.
[33] Robert Hammond, The Philosophy of Alfarabi, 9.
izin copy ya gan
BalasHapus