PEMIKIRAN AL-GHAZALI
TENTANG PENDIDIKAN
(Pendidik dan
Peserta Didik Perspektif Al-Ghazali)
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Filsafat Pendidikan Islam”
Disusun oleh :
MAD SA’I
F05411121
Dosen
Pembimbing :
Dr. Phil. Khoirun Niam
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2012
A.
PENDAHULUAN
”Setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah
sekolah”. Kedua kalimat itu dapat memunculkan pertanyaan jika cara pandang dalam
mengartikannya berbeda. Namun apabila kita telusuri, makna yang terkandung di
dalamnya cukuplah berarti untuk dijadikan inspirasi dan motivasi pada setiap
diri utamanya yang begelut di dunia pendidikan. Pengetahuan tidak harus
diperoleh melalui seseorang yang selalu memberikan ceramah, pengetahuan dan tidak
hanya diperoleh pada tempat tertentu, sekolah atau madrasah, tapi dapat
diperoleh dimana dan dengan siapa kita berada.
Setiap orang pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan. Kemampuan
dan hasil pemikirannya dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kecendrungan
pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kondisi sosial masyarakatnya. Memahami hal tersebut adalah suatu keharusan guna
memahami hasil pemikiran seseorang, dan pada gilirannya dapat mengantarkan kita
kepada penilaian terhadap pendapat yang dikemukakan itu, serta batas-batas
kewajarannya untuk dianut atau ditolak.
Memahami latar belakang pencetus ide dan idenya
mengantarkan seseorang untuk tetap hormat kepadanya, atau paling tidak,
mengetahui alasan dan latar belakang kenapa dan bagaimana suatu ide itu
dikemukakan, sehingga dapat memberikan kepada pihak lain kesempatan untuk
menemukan dalih atau alasan pembenaran walaupun ide yang dikemukakan itu tidak
dapat diterima.
Hal seperti di atas juga berlaku bagi al-Ghazali. Apa
yang mereka ungkapkan dalam kitab-kitab mereka terutama yang berkaitan dengan
pendidikan, adalah hasil olah pikir al-Ghazali setelah mengkontekskannya
terlebih dahulu dengan lingkungannya.[1]
berdasrkan dasar itulah, maka penting bagi kita untuk melihat
riwayat kehidupan, pendidikan, kecenderungan pemikiran dari al-Ghazali melalui
biografi al-Ghazali sebelum kita membahas pemikiran-pemikiran yang berkenaan
dengan pendidikan yang dia ketengahkan dalam kitab-kitabnya.
B.
Biografi al-Ghazali
Nama lengkap dari Imam al-Ghazali
adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali,[2]
versi lain menyebutkan adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
(bukan Muhammad) al-Ghazali.[3]
Imam al-Ghazali lahir di kampung kecil Ghazalah, desa Thus, provinsi Khurasan,
wilayah Persia (sekarang kota Meshed, Iran) pada tahun 450 H atau 1058 M di
bawah pemerintahan Bani Saljuq-Abbasiyah.[4]
al-Ghazali tetap tinggal di kota
kelahirannya Thus bersama adik dan ayah angkatnya al-Rizkani sampai dengan umur
dua puluh tahun. Al-Ghazali belajar mengenai ilmu-ilmu agama secara mendalam
kepada al-Rizkani, lebih dari itu dia juga secara tekun mempelajari tasawwuf
kepada Yussuf an-Nassaj. Kemudian al-Ghazali melanjutkan pendidikan ke sekolah
yang memberikan beasiswa kepada murid-muridnya di Jurjan untuk mempelajari
bahasa Arab dan Persia pada tahun 479 H. Di Jurjan dia belajar secara khusus
tasawwuf kepada kepada Imam Abu Nasr al-Isma'ili>, dan ulama-ulama Jurjan di masa itu.[5]
Setelah dari Jurjan, ia kembali lagi ke Thus selama tiga tahun.
Selanjutnya ia pergi ke Naisabur (Nishapur)
dan masuk madrasah Nizamiyah berguru kepada ulama terkenal di kala itu Imam
Haramain al-Juwaini yang menjadi guru besar di madrasah Nizamiyah Naisabur.[6]
Al-Ghazali mempelajari teologi, fiqh, ushul fiqh, filsafat, logika, dan
ilmu-ilmu alam di madrasah tersebut. Karena kecerdasannya dia sering
menggantikan al-Juwaini mengajar dikala al-Juwaini berhalangan. Selain itu
karena kemasyhuran namanya dia sering mengikuti dialog dan seminar di kerajaan
Abbasiyah atas undangan perdana menteri Nizamul Mulk.
Karir akademik Imam al-Ghazali tidak
hanya berhenti sampai disitu, setelah Imam Haramain wafat, oleh perdana menteri
Nizamul Mulk dia diangkat sebagai kepala Madrasah Nizhamiyah untuk mengisi
jabatan yang kosong setelah meninggalnya Imam Haramain. Padahal waktu itu umur
Imam al-Ghazali baru 28 tahun, namun kecakapannya mampu menarik perhatian seorang
perdana menteri. Hal itu terjadi pada tahun 484 H.
Setelah lima tahun menjabat sebagai
kepala madrasah Nizhamiyah, di tengah-tengah puncak kejayaannya, Imam al-Ghazali
mengalami guncangan batin yang mempertanyakan eksistensi dirinya dan kebenaran
jalan hidup yang dia lalui. Lalu dia memutuskan untuk berhenti dari
pekerjaannya dan berniat melaksanakan ibadah haji. kemudia sesudah itu dia
melakukan khalwat di Jami’
Umawiy di masjid Damaskus dan tenggelam dalam ibadah, kemudian pergi ke Bait al-Maqdis untuk berziarah ke makam-makam shuhada dan tempat bersejarah lainnya. Setelah itu beliau pergi ke Mesir
dan menetap di Iskandariyah, hal itu terjadi pada tahun 488 H.
Setelah sekitar sepuluh tahun
berkhalwat, pada tahun 1105 M, al-Ghazali kembali ke Baghdad dan mengajar di
madrasah Nizhamiyah lagi, namun tidak seperti dulu yang mengajar ilmu fiqh dan
ushul fiqh, kali ini dia mengajar pelajaran tasawwuf.[7]
Mengenai kedatangannya kembali ke Baghdad dan kembali mengajar, Imam al-Ghazali
pernah berkomentar:
“Dan
aku sekarang meskipun aku bekerja lagi untuk menyebarkan ilmu pengetahuan,
tetapi tidaklah itu boleh dinamakan “kembali”, karena kembali itu adalah
berarti melanjutkan kerja lama. Karena di masa lalu itu, aku menyebarkan ilmu
adalah didorong oleh keinginan mencari nama, dan untuk itu aku berdakwah dengan
ucapan dan amal perbuatan. Memang demikianlah tujuan dan niatku di kala itu.
Adapun sekarang sangatlah berbeda sekali, aku berdakwah dan menyebarkan ilmu
adalah untuk melawan hawa nafsu dan menghapuskan rasa megah diri serta
kesombongan. Inilah sekarang maksud dan tujuanku, semoga
Allah mengetahui niatku ini”.[8]
Setelah beberapa tahun mengajar di Baghdad, Imam al-Ghazali kembali ke
kotanya Thus karena kecintaannya kepada keluarga. Di Thus, al-Ghazali mendirikan sebuah halaqah yang khusus
mempelajari fiqh dan tasawwuf. Imam al-Ghazali terus mengajar di halaqahnya
hingga wafatnya tahun 505 H atau 1111 M.
C.
Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan
Landasana filosofis mengenai pendidikan ialah filsafat yang kita
dianut dan kita yakini adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai
konsekuensinya logik, kalau kita berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat
pendidikan atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat
pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan
dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh kita sebagai umat islam
pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut pemahaman orang islam
menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena itu, perlu
menelusuri landasan filosofis pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir
maupun praktisi pendidikan Islam.
Pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak
Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan
Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil
sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai
aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk
mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat
pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang
pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya
berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, pendidikan Islam adalah
suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal,
sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat
pendidikan Islam.[9]
Sebagai seorang ulama besar, filosuf
di zamannya, al-Ghazali dikenal sebagai ulama yang multidisipliner dalam
keilmuan. Oleh karena itu, dia memiliki banyak karangan kitab yang membahas
tentang berbagai keilmuan Islam. Berbagai referensi yang ada menuliskan kalau dia
mengarang tidak kurang 700 kitab sepanjang hidupnya. Namun al-Dzahabi dengan
sumber yang kuat mengatakan bahwa jumlah kitab yang realistis dikarang oleh al-Ghazali
sepanjang hidupnya hanya sekitar 70-80 kitab saja, sebagaimana yang sampai
kepada generasi masa kini juga kurang lebih berjumlah 70-80 kitab. Adapun
cerita mengenai al-Ghazali mengarang 700 kitab, boleh jadi benar apabila
dihitung dengan ditambahkan lembaran-lembaran berisi syair, nasehat-nasehat
pendek, risalah yang ditulis oleh Hujjat al-Islam selama hidupnya.[10]
Ada beberapa kitab, dari puluhan
kitab yang dikarang oleh al-Ghazali yang berisi tentang pemikiran-pemikirannya
tentang pendidikan, baik pembahasan tersebut dibahas dalam satu kitab khusus
atau bercampur dengan pembahasan-pembahasan tentang tema lainnya. Beberapa
kitab tersebut adalah Ihya' Ulum al-Din, Murshid al-Amin, Bida>yah
al-Hida>yah, Ayyuha al-Walad, Mi'yarul Ilmi, Miza>n al Amal, Fati>hatul
Ulum.
Pemikiran-pemikiran al-Ghazali
tentang pendidikan sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitabnya adalah meliputi
klasifikasi ilmu, cara memperoleh pengetahuan, konsep guru serta murid di dalam
pendidikan Islam.
1.
Klasifikasi Ilmu
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam beberapa kelompok yang
masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Di samping itu, macam-macam ilmu dalam perspektif al-Ghazali tersebut
dapat memberikan nilai-nilai sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan bagi
pelajar.
Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan
Usman Said, al-Ghazali memandang ilmu dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses
dan ilmu sebagai obyek.[11]
Dari segi pertama ilmu dibagi menjadi ilmu h}issiyah, ilmu
aqliyyah, dan ilmu ladunni. Sedangkan
ilmu sebagai obyek dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu ilmu yang tercela, ilmu
yang terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu.[12]
Ilmu yang tercela adalah ilmu yang tidak dapat mendatangkan faedah
atau tidak bermanfaat bagi manusia baik di dunia dan akhirat, misalnya ilmu
sihir, ilmu perbintangan, ilmu ramalan atau perdukunan. Bahkan, bila ilmu itu
diamalkan oleh manusia akan mendatangkan mudlarat dan akan meragukan terhadap
kebenaran Tuhan, oleh karenanya ilmu itu harus dijauhi.
Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang mendatangkan kebersihan jiwa
dari tipu daya dan kerusakan serta akan mengajak manusia untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Ilmu dalam golongan ini semisal ilmu tauhid, fiqh, akhlaq.
Selanjutnya ilmu yang terpuji dalam taraf tertentu, yang tidak
boleh diperdalam, adalah ilmu-ilmu yang apabila manusia mendalami pengkajiannya
pasti menyebabkan kekacauan pemikiran dan keragu-raguan, dan mungkin
mendatangkan kekufuran, seperti ilmu filsafat. Jadi dalam perspektif al-Ghazali,
ilmu itu tidak bebas nilai, ilmu pengetahuan apapun yang dipelajari harus
dikaitkan dengan moral dan nilai guna.
Berdasarkan ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi
ilmu tersebut menjadi dua kelompok dari segi moral dan manfaat, yaitu ilmu yang
wajib diketahui oleh setiap muslim (fard}u
'ain) dan ilmu yang fard}u kifayah dalam arti tidak wajib diketahui oleh segenap orang Islam, tetapi
harus ada orang Islam yang mempelajarinya.[13]
2.
Cara Mendapatkan Ilmu
Untuk mendapatkan ilmu, Al-Ghazali menyebutkan ada dua cara. Pertama, yaitu mengikuti metode ulama,
dan yang kedua mengikuti metode sufiyyah.[14] Lebih
jelasnya dua cara atau metode tersebut tergambarkan dalam ilustrasi di bawah
ini:
Metode pertama,
t}ori>qu al-'ulama (metode ilmuwan/scientist) adalah suatu jalan bagaimana
seseorang mendapatkan hakikat pengetahuan melalui pembelajaran, berpikir,
dialog, penelitian, dan sejenisnya. Al-Ghazali mengelompokkan dan menyebut
ilmu-ilmu untuk mencapai hakikat pengetahuan dengan istilah ilmu mu'amalah.
Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan disebut tarti>bul bara>hin.
Selanjutnya,
atau yang kedua, t}ori>qus s}u>fiyah (metode sufistik) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mencapai
hakikat pengetahuan melalui pembersihan nafsu dan hati. Sufistik tidak
menekankan pembelajaran teori-teori, postulat, atau aksioma seperti halnya
metode ulama. Sebagai gantinya, sufistik menekankan perilaku yang baik di
kehidupan. Al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu dalam jalan sufistik melalui sebutan
ilmu muka>shafah dan ilmu tasawwuf. Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan
pengetahuan itu, dia menyebutnya dengan istilah tazkiyat al-nafs.
Selain menyebutkan cara memperoleh ilmu secara teoritis sebagaimana
disebut di atas, al-Ghazali juga menjelaskan cara-cara praktis dalam mencari
ilmu yang didominasi oleh pemikiran tasawwuf. Sebagai contoh al-Ghazali
menganjurkan kepada setiap orang yang menuntut ilmu agar memulai belajarnya
dengan kebersihan hati (s}ofaul qalbi), karena yang demikian akan mendatangkan kesuksesan di dalam
belajar. Selain itu al-Ghazali juga mengajarkan kepada pencari ilmu untuk tidak
sombong (menganggap remeh) terhadap ilmu dan juga selalu menghormati guru. Hal
lain yang juga disebutkan oleh Hujjatul Islam ialah agar pencari ilmu, memulai
kegiatan belajarnya dengan niat yang bagus (h}usnu al-niyah) dan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah dan mengharap ridla-Nya,
tidak untuk mencari pangkat, harta, dan kekuasaan.
3.
Konsep Guru atau Pendidik
a.
Definisi Guru
Dalam
menjelaskan konsep guru atau pendidik, Al-Ghazali memulai dengan menjelaskan
definisinya secara tamthi>l
(perumpamaan). Dia berupaya untuk menjelaskan pengertian guru dengan mengatakan
bahwa guru adalah orang mengajarkan ilmu kepada manusia, menyempurnakan,
membersihkan, mensucikan, dan mendekatkan hati kepada Allah. Lebih ringkas
lagi, al-Ghazali juga mengumpamakan profesi guru sebagai perantara antara Allah
dan makhluk-Nya.[15]
Dalam kesempatan yang lain al-Ghazali juga mengatakan bahwa posisi guru
memiliki kedudukan tertinggi setelah pangkat kenabian.
Berdasarkan
definisi yang dipaparkan al-Ghazali terlihat adanya titik pokok persamaan
antara definisi guru yang dia maksudkan dengan definisi-definisi guru yang
dimaksudkan oleh para ahli pendidikan modern.
Menurut al-Ghazali guru bukan hanya seseorang yang hanya melakukan
transfer pengetahuan kepada peserta didiknya dan menitikberatkan pengajaran
kepada aspek kognitif saja. Tetapi lebih jauh lagi, seorang guru juga
diharuskan mengembangkan potensi peserta didik dari aspek afektif dan
psikomotoriknya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan pengenalan dan pembiasaan
peserta didik terhadap lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai religius,
sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali dengan menyempurnakan, membersihkan,
mensucikan, dan mendekatkan hati kepada Allah.
Al-Ghazali
memandang guru bukan sebagai profesi an sich, tetapi lebih dari itu al-Ghazali
mengatakan bahwasanya guru adalah khalifah Allah yang menggantikan Allah dalam mengajari makhluk-makhluk-Nya. Oleh
karenanya al-Ghazali menganggap profesi guru dengan segala usaha yang
dilakukannya sebagai sebuah ibadah. Hal itu jelas lebih prestise dari
pada hanya menganggap guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bahkan dengan
menukil sebuah hadits, al-Ghazali menjelaskan bahwasanya posisi guru memiliki
kedudukan tertinggi setelah pangkat kenabian.
b.
Kewajiban Guru
Al-Ghazali
menuliskan pendapatnya mengenai kewajiban guru dalam kitab-kitabnya dengan
menggunakan redaksi wad}aiful murshidi al-mu’allim yang secara sederhana bisa diartikan sebagai tugas-tugas/
kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang guru. Namun dalam
prakteknya penjelasan tersebut tidak hanya berisi tugas dan kewajiban saja,
tetapi juga bercampur dengan peranan, kompetensi, dan juga etika guru. Hal tersebut
terjadi karena kata wad}ifah juga memiliki banyak arti, termasuk di antaranya adalah peran.
Wad}ifah pertama, al-Ghazali
menerangkan tentang seorang guru hendaknya mempunyai rasa belas kasihan kepada
murid-muridnya dan memperlakukan mereka layaknya sebagai anak kandungnya
sendiri[16].
Wad}ifah kedua, al-Ghazali menjelaskan bahwa hendaknya mengikuti jejak
Rasul SAW. Maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih dengan
mengajar itu. Bahkan, seorang guru yang seharusnya memberikan upah dan balasan
kepada murid, karena dengan kegiatan mengajar tersebut, seorang guru memiliki
kesempatan untuk mengamalkan ilmunya.
Wad}ifah ketiga, al-Ghazali menyebutkan bahwa seorang guru hendaknya
memberikan bimbingan kepada peserta didiknya tentang tahapan-tahapan belajar
yang harus dilaluinya, sehingga peserta didik tidak mempelajari suatu pelajaran
yang belum seharusnya dia pelajari. Dan hendaknya seorang guru juga bisa
meluruskan niat peserta didik dalam mencari ilmu, yaitu hanya semata-mata bertaqarrub
kepada Allah bukan karena hal lain.
Wad}ifah keempat, menurut al-Ghazali, seorang pendidik hendaknya bisa
membimbing peserta didiknya untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak baik
dengan cara-cara yang simpatik.
Wad}ifah kelima, seorang guru menurut al-Ghazali tidak boleh menghina
mata pelajaran lain yang tidak dia ajarkan atau bukan menjadi tanggungjawabnya,
baik hal itu dilakukan karena menganggap remeh mata pelajaran tersebu atau
karena sebab lainnya.
Wad}ifah keenam dan ke-tujuh, seorang guru yang ideal menurut al-Ghazali
adalah guru yang mampu membaca, dan menganalisa potensi anak didiknya. Kepada
murid yang tingkat intelengesianya rendah, janganlah diberikan pelajaran yang
rumit yang nantinya akan membuat murid takut untuk mempelajari lagi ilmu
tersebut. Sedangkan bagi murid yang
memiliki kepekaan dalam pemahamannya, maka hendaknya diberikan pelajaran dan
soal-soal yang sesuai dengan kemampuannya sehingga murid tidak menjadi bosan.
Wad}ifah kedelapan, al-Ghazali menegaskan seorang guru harus mengamalkan
ilmunya, jangan sampai apa yang guru sampaikan bertentangan dengan apa yang
guru lakukan. Kesatuan antara perkataan dan perbuatan guru, menunjukkan
integritas moral dan keilmuan dari guru tersebut.[17]
c.
Hak Guru
Al-Ghazali selain menuliskan tentang wad}ifah guru, di dalam kitabnya juga menuliskan tentang wad}ifah murid. Hal ini dilakukan agar terjadi keseimbangan
antara status guru dan murid. Dari beberapa wad}ifah murid yang dia terangkan, ada satu yang berkenaan dengan
kewajiban murid terhadap gurunya yang juga bisa dipahami sebagai hak guru
terhadap muridnya. Kewajiban tersebut adalah seorang murid dianjurkan taat
terhadap gurunya dan tidak menyombongkan diri kepadanya.[18]
Hak guru yang dimaksud oleh al-Ghazali
bukanlah hak tentang insentif yang harus didapatkan dan juga tunjangan material
lainnya yang bisaa dikenal pada saat ini. Tetapi hak tersebut adalah secara
psikis yang apabila direnungi lebih dalam, memiliki nilai yang lebih tinggi
dari pada hak-hak yang bersifat materialistis. Sebagai pertimbangan, seorang
guru akan lebih senang apabila semua ucapannya didengarkan, nasehatnya diikuti,
dan perintahnya dilakukan walaupun karena beberapa hal dia tidak menerima
bayaran. Dari pada menerima bayaran, namun ucapannya diacuhkan, nasehatnya
diabaikan, dan perintahnya ditinggalkan.
d.
Etika Guru
Al-Ghazali juga menerangkan beberapa etika
murid terhadap guru, dan juga etika yang seharusnya dimiliki guru. Mengenai hal
yang pertama, al-Ghazali banyak menuliskan tentang hal-hal yang berkenaan
dengan tatakrama atau sopan santun murid terhadap gurunya. Sedangkan mengenai
etika yang harus dimiliki oleh guru, al-Ghazali banyak menuliskan nila-nilai
moral yang harus dilakukan oleh guru seperti tanggungjawab, sabar, tidak
sombong, dan ramah.[19]
4.
Konsep Murid
a.
Kewajiban Murid
Al-Ghazali
menerangkan tentang kewajiban murid di dalam kitab Ihya>’ dengan menggunakan redaksi kata yang sama seperti halnya kewajiban
guru, yaitu wad}ifah.
Adapun wad}ifah yang harus
dijalankan oleh seorang murid dalam kegiatan belajarnya ialah sebagai berikut:[20]
Pertama, meminimalisasi rintangan yang akan dihadapi dalam kegiatan
belajarnya. Fokus dalam belajar adalah kunci utama keberhasilan mencari ilmu.
Allah hanya menciptakan satu hati kepada setiap manusia, jika perhatian
terbagi, maka hasil yang dicapai tidak akan pernah maksimal.
Kedua, memperdalam sebanyak mungkin disiplin keilmuan yang ada, dengan
terlebih dahulu memperhatikan skala prioritasnya. Setelah itu baru kemudian
memperdalam satu ilmu yang paling penting bagi dirinya.
Ketiga, sebaiknya
mengetahui dengan seksama hubungan antara ilmu dan tujuan-tujuan dari ilmu itu
sendiri. Sehingga tidak salah memilih ilmu yang akan dipelajarinya.
Di
samping itu, Muhammad Athiyyah Al-Abrasy sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin
Nata mengatakan bahwa seorang murid juga harus memuliakan gurunya, bersikap
rendah hati atau tidak takabbur, merasa satu bangunan dengan murid lainnya,
menjauhkan diri dari mempelajari dari berbagai madhab yang dapat menimbulkan
kekacauan dalam pikiran serta mempelajari berbagai ilmu dengan
bersungguh-sunggu dalam mencapai tujuan dari tiap ilmu tersebut.[21]
b.
Hak Murid
Al-Ghazali
tidak menjelaskan secara eksplisit tentang hak murid dalam kitab-kitabnya,
namun etika dan kewajiban guru terhadap murid, juga bisa dimaknai sebagai hak
murid. Pertama, seorang murid berhak untuk mendapatkan pengajaran dan perlakuan
yang baik dari seorang guru. Kedua, murid juga berhak mendapatkan pengganti
peranan orang tua di dalam sosok guru selama menjalani proses pendidikan.[22]
c.
Etika Murid
Ada
dua macam etika yang ditekankan oleh al-Ghazali terhadap seorang murid, etika
terhadap dirinya dan etika terhadap orang lain, terutama kepada gurunya
sendiri. Etika terhadap diri sendiri maksudnya adalah seorang murid dilarang
untuk berlaku sombong, iri hati, marah, cepat puas, dan sifat-sifat tercela
lainnya. Hal-hal tersebut hanya akan menjadikan hatinya bebal dan sulit
mendapatkan ilmu. Etika terhadap seorang guru adalah tidak menentang perintah
gurunya, dan tidak berlaku sombong terhadap guru.[23]
D.
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Ghazali adalah seorang filosuf yang sangat menaruh perhatian terhadap
pendidikan yang dinilainya sebagai pembawa dan penentu corak kehidupan manusia.
Hal ini dibuktikan dengan beberapa pemikiran filosofisnya yang berkaitan dengan
pendidikan, di antaranya meliputi konsep: klasifikasi tentang ilmu, proses
mendapatkan ilmu, konsep guru dan murid. Semua konsep tersebut tertuang dalam
beberapa kitab al-Ghazali yang membahas tentang pendidikan seperti Ihya' Ulumiddi>n, Murshid al-Amin, Bida>yah al-Hida>yah,
Ayyuha al-Walad, Mi'yaru al-Ilmi, Miza>n al-Amal, dan Fati>hatu al-Ulu>m.
Semua konsep yang dimilikinya bertujuan untuk mencapai pengetahuan dan
kebenaran yang sebenarnya. Meski tidak menutup kemungkinan adanya ketidak
sepahaman bahkan penolakan terhadap konsep tersebut dari berbagai kalangan.
Karena kehidupan sosio-kultural pada saat itu belum tentu sama dengan sekarang.
Pemikiran al-Ghazali khususnya yang berkaitan dengan pendidikan banyak
dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di tempat dan pada saat al-Ghazali mencetuskan
pemikirannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat
Hidup Imam Al-Ghazali. Surabaya: Bulan Bintang, 1995.
Al-Abrasyi, M. Athiyah. Dasar-Dasar
Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Al-Tuwanisi, Ali al-Jumbulati Abdul
Futuh. Al-Muqa>ranah fi> Tarbiyah al-Isla>m. Beirut: al-Manshurah, 1994.
Al-Dzahabi, Syamsuddin. Siya>r
al-A’lam al-Nubala. Beirut:
Mu’assat al Rislah, 1986.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Fati>hat
al-Ulu>m. Kairo:
Matba’ah al-Husainiyah al-Misriyah.
__________________.
Miza>n
‘Amal. Kairo: Matba’ah al Islamiyah
__________________.
Ihya>’
Ulu>m al-Din. Surabaya: al-Hidayah,
1957.
__________________. Al-Munqi>dh
min al-Dhala>l wa al-Musil ila> dhi> al-Izzah wa al-Jalal. Beirut: Lajnah al Lubnaniyah, 1996.
__________________.
Mursyi>d
al-Ami>n.
Beirut: Darl al-Fikr, 1996.
__________________.
Bida>yah
al-Hida>yah. Surabaya: al-Hidayah, 2004.
Al-Qardhawi, Yusuf. Al-Ima>m
al-Ghazali> Baina Madi>hi>hi wa Naqi>dihi>. Kairo: Darl Wafa, 1988.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar.
Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat: Ciputat Press, 2005.
Asari, Hasan. The Educational
Thought of al-Ghazali, Theory & Practice. Montreal: Mc. Gill University,
1993.
Bakri, Masykuri dan Nur Wakhid. Quo
Vadis Pendidikan Islam Klasik, Perspektif Intelektual Muslim. Surabaya:
Visipress, 2009.
Jalaluddin dan Usman Said. Filsafat
Pendidikan Islam dan Perkembangannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi
Islam atas Duni Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya:
Risalah Gusti, 2003.
Nata, Abuddin. Filsafat
Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nata, Abuddin. Perspektif Islam
Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Studi Pemikiran Tasawwuf al-Ghazali.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
____________. Pemikiran Para
Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Rahman, Fazlur. Islam.
Bandung: PUSTAKA, 1997.
Watt, W. Montgomery. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: Lentera, 1979.
[1] M. Quraish
Shihab, Rasionalitas al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 2001), 1-2.
[2] Lihat
penulisan nama Imam al Ghazali dalam kitab-kitabnya seperti Ihya’ Ulu>m al-Din, Mursyi>d al-Ami>n,
Minha>j al-Abidin.
[4] Hasan Asy’ari,
The Educational Thought of al-Ghazali, (Montreal: Institute of Islamic
Studies Mc Gill University, 1993), 9.
[5] Ibid.,
12-13.
[6] Yusuf al-Qardhawi,
al-Imam al-Ghazali Baina Madi>hi>hi
Wa Naqi>dihi>, (Kairo: Darl
Wafa, 1988), 187.
[8] Abu Hamid al-Ghazali,
al-Munqi>dh min al-Dala>l
w#al al-Musil ila> dhi> al-Izzah wa al-Jala>l, (Beirut: Lajnah al-Lubnaniyah, 1996), 28.
[9] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003), 91.
[10] Syamsuddin al-Dzahabi,
Siya>r A'lam al-Nubala>', (Beirut:
Mu'assat al-Risalah, 1406/1986), jilid 6, 265.
[11] Jalaluddin dan Usmad Said, Filsafat Pendidikan
Islam: Konsep dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), 140.
[13] Ibid., 14-16.
[16] Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Islam atas Duni Intelektual Barat; Deskripsi Analisis
Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), 126.
[17] Abu Hamid al
Ghazali, Ihya>', 55-58. Lihat juga Abu Hamid al-Ghazali, Fati>hat al-Ulu>m, (Kairo:
Matba'ah al-Husainiyah al-Misrriyah, 1322), 60-63, Lihat juga Miza>n al-'Amal, (Kairo:
Matba'ah al-Islamiyah, 1328), 169-178.
[21] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 165-166.