SEJARAH PEMIKIRAN AL-SHI’AH
(al-Ima>mi>yah, al-Zaidi>yah dan al-Isma>’ili>yah)
Abstrak
Kata kunci : Shi’ah, al-Ima>mi>yah,
al-Zaidi>yah dan al-Isma>’ili>yah
Makalah
ini bertujuan untuk mengkaji; 1) Latar belakang munculnya Aliran Shi>’ah
dalam Islam, 2) Sejarah dan perkembangan pemikiran Shi’ah, 3) Ciri-ciri Shi>’ah
Ima>miyah, Zaidiyah dan Isma>’iliyah.
Shi>’ah
merupakan salah satu kelompok dalam Islam yang muncul pada saat terjadinya
tahkim antara Ali> bin Abi> T{alib dengan Muawiyah. Pada awal munculnya, Shi>’ah
tidak didasarkan dengan motif ideologis melainkan motif politik. Namun pada
fase berikutnya, motif tersebut mengalami perkembangan yang lebih komplek,
termasuk aspek ideologis, sehingga menganggap dirinya adalah kelompok yang
paling benar karena merasa mengikuti ahlu al-bait, yakni keluarga Rasul.
Perkembangan
Shi>’ah yang semakin pesat itu, melahirkan kelompok-kelompok di internal Shi>’ah
sendiri. Kelompok tersebut cukuplah banyak namun dalam makalah ini penulis
lebih fokus pada tiga kelompok saja, yaitu Shi>’ah Ima>miyah, Zaidiyah
dan Isma>’iliyah. Shi>’ah Ima>miyah merupakan kelompok terbesar
pengikutnya yang juga disebut dengan Shi>’ah ithna> ‘ashariyah karena
mengakui dua belas imam. Sedangkan Shi>’ah Zaidiyah adalah kelompok yang
paling moderat karena kelompok ini tidak seperti Shi>’ah pada umumnya yakni
tetap menghargai ketiga sahabat khulafa> al-ra>shidu>n selain Ali.
Kelompok ini hanya mengakui lima imam sehingga disebut juga Shi>’ah lima
imam. Adapun Shi>’ah Isma>’iliyah merupakan kelompok terbesar kedua
setelah Shi>’ah Ima>miyah yang mengakui tujuh imam. Kebanyakan dari nama
kelompok tersebut dinisbatkan pada pendirinya di samping pada ajarannya.
BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya kelompok atau golongan di kalangan Islam diawali sejak
wafatnya Nabi Muhammad saw, khususnya disebabkan perbedaan pendirian tentang
siapa yang berhak menjadi pengganti beliau sebagai pemimpin masyarakat atau khalifah.
Golongan yang dimaksud ialah: Pertama, golongan
mayoritas atau jumhur yaitu yang mengakui Khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman
serta Ali. Kedua, golongan Shi’ah
yaitu yang hanya mengakui Khalifah Ali saja. Mereka tidak mengakui Khalifah Abu
Bakar, Umar dan Usman, bahkan menyatakan bahwa ketiganya itu telah menyerobot dan
merebut jabatan Khalifah secara tidak sah sehingga mereka beranggapan bahwa
yang berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi adalah Ali. Ketiga, golongan Khawa>rij yaitu golongan yang keluar atau tidak
masuk ke dalam dua golongan tersebut.
Pada akhir masa pemerintahan Khalifah Ali muncullah golongan
Khawa>rij. Awalnya Mereka merupakan pengikut Ali akan tetapi pada akhirnya
mereka memberontak karena tidak setuju dengan cara-cara atau keputusan yang
dilakukan oleh Ali dalam usaha menyelesaikan pertikaian dengan Mu'awiyah.
Sedangkan yang menerima dengan keputusan Ali ialah golongan Shi’ah yang
merupakan pokok bahasan dalam penulisan makalah ini.
Menurut pandangan Shi’ah,
imamah (politik) merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di
kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah belah ke berbagai
aliran, sekte dan mazhab. Ini akibat konflik antar sekte Islam sepeninggal Nabi
Muhammad saw ketika suksesi politik diadakan untuk merebut tampuk kepemimpinan.
Dalam istilah Shi’ah, politik dinamakan al-Ima>mah, dan istilah yang
digunakan Sunni adalah al-Khila>fah, sedangkan pada zaman modern saat
ini dikenal dengan istilah al-Ri’a>sah.
Dalam pandangan politik Shi’ah
dikatakan bahwa Imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan
kepada pilihan publik, tetapi merupakan salah satu pilar agama atau asal-usul
dan dasar perinsip agama Arka>n al-Di>n dimana iman seseorang
tidak sempurna kecuali percaya dengan Imamah.
Oleh karenanya, Imam Ali
merupakan pelanjut Nabi Muhammad saw yang sah dengan penunjukan langsung dari Muhammad
saw. Bagi mereka, kedudukan para Imam setara dengan kedudukan Nabi Muhammad. Sehingga,
Shi’ah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki
oleh kalangan Ahlul Bait.
Di sisi lain kalangan Sunni menyerukan suksesi
berdasarkan seleksi dan konsensus yang dilakukan oleh rakyat yang diwakili oleh
Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi dalam memilih kelayakan seorang pemimpin atau Khalifah.
Namun yang menarik,
terdapat golongan Shi’ah yang merupakan bagian sekte Shi’ah yang moderat, yaitu
Shi’ah Zaidi>yah. Sehingga sekte tersebut dikategorikan sebagai sekte yang
paling dekat ke Sunni. Karena sekte ini dalam banyak hal tidak sependapat
dengan Shi’ah pada umumnya. Mereka tidak menyamakan posisi Imam dengan Nabi
yang mempunyai sifat ‘is}mah (terpelihara dari dosa dan noda), Shi’ah
Zaidi>yah juga menganggap sama kedudukan semua manusia.
Pada makalah ini, penulis memaparkan sekilas tentang
pandangan Shi’ah Imamiyah, Shi’áh Zaidi>yah, dan Shi’ah Isma>’ili>yah.
Penulis berharap agar kita sedikit paham mengenai perjalanan dari ketiga sekte
dalam Shi’ah tersebut. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran sangat diharapkan demi
sempurnanya penulisan makalah selanjutnya. Meskipun demikian, semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca pada khusunya dan masyarakat pada umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEKILAS TENTANG SHI’AH
Secara
etimologi Shi’ah diartikan sebagai pengikut atau kelompok.[1]
Disamping itu juga mengandung makna pendukung dan pecinta, juga dapat diartikan
kelompok. Sebagai contoh: Shi’ah Muhammad artinya pengikut Muhammad atau
pecinta Muhammad atau kelompok Muhammad.
Oleh karena
itu dalam arti bahasa, orang Islam bisa disebut sebagai Shi’ahnya Muhammad bin
Abdillah saw dan pengikut Isa bisa disebut sebagai Shi’ahnya Isa alaihi as-salam.
Kemudian perlu diketahui bahwa di zaman Rasulullah, Shi’ah atau kelompok yang
ada sebelum Islam, semuanya dihilangkan oleh Rasulullah, sehingga saat itu
tidak ada lagi Shi’ah itu dan tidak ada Shi’ah ini.
Jika ditilik
dari segi makna, Shi’ah pada mulanya mencakup arti “suatu kelompok yang
memiliki persamaan persepsi guna mengadakan konfrontasi atas golongan lain”.[2]
Namun beriring perputaran sejarah, “Shi’ah” berkembang dan menjadi istilah
khusus untuk suatu golongan (madzhab), yang akhirnya memunculkan makna: suatu
kelompok yang meyakini kepimimpinan Ali ra dan anak cucu serta pengikut beliau
setelah Rasul. Lebih spesifik Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya “al-Muqaddimah
Ibn Khaldun” menerjemahkan Shi’ah sebagai golongan pengikut setia Ali ra
dan anak cucu beliau.[3]
Begitupun
halnya al-Syahrustan juga menerangkan dalam kitabnya “al-Mila>l wa al-Niha>l”
bahwa Shi’ah adalah suatu golongan yang memihak kepada Ali ra, serta meyakini
bahwa kepemimpinan adalah hasil ketetapan mutlak dari wasiat Rasul. Yang
mendasar dari definisi di atas adalah bahwa Shi’ah yang berkembang sekarang
merupakan bentuk madzhab yang bersikap fanatik terhadap kepemimpinan Ali ra,
yang berujung pada pensifatan Shi’ah sebagai dogma suatu golongan yang memiliki
pemahaman lain dengan golongan keagamaan lainnya dalam Islam.
B. SEJARAH PEMIKIRAN SHI’AH
Secara historis, asas dan idiologi Shi>’ah tidak
muncul dengan tiba-tiba atau tanpa perhitungan yang matang. Sekte yang lebih
menonjolkan sikap keberpihakan kepada ‘Ali> ini muncul melalui tahapan yang
panjang dan berliku, dimana pada ujungnya, sekte ini memiliki banyak cabang.
Sejarah awal munculnya sikap keberpihakan yang berlebihan “tashayyu’”
terhadap Imam ’Ali> masih menjadi perdebatan panjang di kalangan sejarawan
dan para pengamat sejarah sekte-sekte Islam. Bahkan di kalangan Shi>’ah
sendiri juga masih ditemukan kata tidak sepakat antara penulis yang satu dengan
yang lain.
Di dalam kitab-kitab tarikh Islam yang beredar di kalangan
Sunni>, ada seorang tokoh Yahudi dari Yaman, beliau seorang pendeta yang
mu’allaf tidak puas dengan kebijakan khalifah ‘Uthma>n, yakni ‘Abdulla>h
bin Saba’. Sebagian ahli sejarah berpendapat, masuknya ‘Abdulla>h bin Saba’
bertujuan untuk mengacaukan Islam dari dalam, karena orang–orang Yahudi tidak
mampu menghancurkan Islam dari luar. ’Abdulla>h bin Saba’ sangat ekstrim
dalam mengagungkan ‘Ali>, bahkan berani membuat hadis-hadis palsu demi
pengagungannya terhadap ‘Ali>, Oleh sebab itu ‘Abdulla>h bin Saba’
dianggap sebagai “avant-garde” Shi>’ah.
Sa’ad al-Qummi>, seorang tokoh dan pakar fiqih Shi>’ah
abad ketiga, tidak menginkari keberadaan ‘Abdulla>h bin Saba’. Tokoh yang
terkenal ‘thiqah’ dan memiliki wawasan luas di kalangan Shi>’ah ini,
malah menyebutkan dengan rinci para pengikut ‘Abdulla>h bin Saba’ yang
populer dengan sekte Saba’iyah. ‘Abdulla>h adalah orang yang pertama kali
yang memunculkan cacian dan kebencian terhadap Abu> Bakar, ’Umar,
‘Uthma>n dan para sahabat atas dasar perintah ‘Ali. Akan tetapi, ketika
prilaku itu diketahui Sayyidina ‘Ali>, beliau lantas memerintahkan agar
‘Abdulla>h dibunuh. Akhirnya, ‘Abdulla>h bin Saba’ diasingkan ke Madain.
Secara histografi kemunculann Shi>’ah telah ada
setelah Rasulullah SAW wafat. Yaitu ketika Abu> Bakar terpilih secara
aklamasi sebagai khalifah pertama pada pertemuan Saqifah bani Saidah di Madinah.
Dalam pertemuan itu ‘Ali> tidak hadir karena sibuk mengurus jenazah Nabi
SAW. ‘Ali> dan kelompok dari pemuka-pemuka sahabat pada mulanya tidak
bersedia membai’at Abu> Bakar, akan tetapi setelah beliau melihat bahwa
keengganan membai’at merupakan mudarat besar bagi kelansungan agama Islam.
Bahkan mungkin meruntuhkan sendi-sendi yang baru ditegakkan ditambah lagi
beliau mengetahui bahwa Khalifah memperjuangkan Islam dan mencurahkan segala
tenaga dan kekuatan demi kemulian Islam dan menyebarkan ke seluruh pelosok
dunia dan yang dilakukan khalifah itu adalah puncak apa yang diharapkan
‘Ami>r al- Mu’mini>n (‘Ali> bin Abi> T}alib) dalam kekhalifahan dan
kekuasaan, maka karena itulah sehingga beliau ikut membai’at khalifah lantaran
disanalah kemaslahatan Islam.
Setelah “kekalahan” pertama para pendukung ‘Ali>
dan ‘Ali> sendiri terhadap jabatan Abu> Bakar, enam bulan kemudian,
keadaan menjadi sekian rupa sehingga kecendrungan Shi>’ah kehilangan
eksistensinya yang terbuka dan aktif. Periode kekhilafahan Abu> Bakar dan
penerusnya ‘Umar, menjadi salah satu “masa tidur” dalam sejarah Shi>’ah.
Setelah ‘Umar meninggal, sentimen Shi>’ah kembali menemukan ekspresi baru,
berupa protes-protes yang dilancarkan pendukung ‘Ali> ketika ‘Uthma>n
dinyatakan sebagai khalifah ketiga. Perlu dicatat bahwa jabatan itu pernah
ditawarkan kepada ‘Ali> dengan syarat ia tunduk terhadap segala sesuatu yang
telah diteladankan oleh pendahulunya yakni khalifah Abu> Bakar dan ‘Umar,
namum ‘Ali> menolaknya dan menyatakan dirinya tidak mungkin untuk jabatan
itu, sebagai wujud kesederhanaan pribadinya dan kerendahan hatinya, dan karena
sikap inilah dewan lalu menetapkan kebijakan memberikan kesempatan ini kepada
‘Uthma>n sebagai khalifah ketiga.
Pada tahun 35/656, khalifah ‘Uthma>n terbunuh, selama
berlangsung pemberontakan anti despotisme keluarga Umaiyah, ’Ali> kemudian
diangkat menjadi khalifah keempat. Setelah dilantik menjadi khalifah, ‘Ali>
berhadapan dengan gerakan pemberontakan yang diprakarsai dua sahabat Nabi,
yakni Abu> T}}alhah dan Zubair bin Awwa>m, kepala kelompok inilah Ummul
Mu’mini>n ‘Aisyah dalam perang Jamal. Pada sisi lain ‘Ali>
berhadapan dengan kekuatan politik oposisi Mu’awiyah, seorang pejabat dari
famili ‘Uthma>n dan sekaligus Gubernur Shiria, yang berakibat terjadinya
perang s}iffi>n pada tahun 36/357. ‘Ali> juga berhadapan dengan kekuatan
Khawa>rij, kelompok separatis yang memisahkan diri dari ‘Ali> yang lebih
ekstrem Khawa>rij mengkafirkan pro ‘Ali>. Tahun 40/601 ‘Ali> dibunuh
oleh ‘Abdurrahma>n bin Mulja>m dari kelompok Khawa>rij bertindak
sebagai eksekutor. Lalu Hasan bin ‘Ali diangkat sebagai khalifah kelima, namun
melalui ancaman pihak Mu’awiyah, Hasan lalu menyerahkan jabatan khalifah ke
pihak Mu’awiyah.
Shi>’ah gerakan
politik menjadi gerakan Aqidah
Pada awalnya Shi>’ah merupakan sebuah gerakan
politik yang besar. Dinasti Umayyah menerapkan system politik yang didominasi
kalangan ‘Arab atas orang-orang taklukkan yang telah menganut Islam yang telah
dimasukkan dalam kelompok inferior. Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azi>z
berusaha menghilangkan dominasi Arab ini. Ia juga berusaha mengakhiri
tuduhan-tuduhan negatif terhadap khalifah ‘Ali> yang menjadi kebiasaan
semenjak masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah. Bahkan kesewenangan Khalifah
Mu’awiyah ini telah menimbulkan sejumlah pemberontakan pemberontakan, bahkan
banyak pemberontakan itu dilakukan oleh orang-orang Irak dan Persia yang baru
masuk Islam. Kalangan oposisi melawan tekanan pihak Mu’awiyah dengan menjadikan
keturunan ‘Ali> sebagai kubu mereka.
Perlu dicatat bahwa setelah Hasan meletakkan jabatan
pada pihak Mu’awiyah, orang- orang pro ‘Ali> merasa kecewa dengan sikap
tersebut. Gerakan perlawanan politik Shi>’ah mengalami perkembangan pesat
sebagaimana yang ditunjukkan oleh kelompok Shi’ah Buwaihiyah (954-1055),
periode ini memberi kaum Shi>’ah kondisi paling mendukung bagi elaborasi dan
standarisasi ajaran-ajaran mereka. Pada periode inilah, kompilasi
koleksi-koleksi hadis Shi>’ah berlansung. Shi>’ah mengklaim bahwa
penulisan hadis mereka sudah dimulai sejak zaman Nabi SAW, seperti halnya dalam
keilmuan Ahlu al-Sunnah. Akan tetapi yang membuat beda adalah, bahwa menurut
Shi>’ah, orang yang pertama yang melakukannya adalah Nabi sendiri, yaitu
melalui tangan Imam pertama, ‘Ali> bin Abi> T}alib.
Walaupun seluruh gerakan politik mengharapkan
perubahan dan kembali kepada kemegahan masa silam. Pada saat itu muncul
kelompok Shi>’ah Sab’iyah, sebuah model kontemporer dari dualism kuno yang
telah merembes ke dalam Islam pada pertengahan abad kedua Hijriah dalam rangka
untuk melepaskan persengketaan dengan pihak Shi>’ah untuk mendapat pengaruh
yang memperkenalkan ide “Pimpinan Ketuhanan” ke dalam Islam. Kejadian tersebut,
bersama kondisi politik Shi>’ah pada waktu itu, melahirkan benih-benih
Shi>’ah Dua Belas Imam.
Doktrin Shi>’isme tidak sama untuk semua kelompok Shi>’ah,
bahkan intern kelompok-kelompok sejenis. Shi>’ah Dua Belas Imam, yang telah
menjadi agama resmi negara di Persia selama kurang lebih lima ratus tahun,
telah mengembangkan homogenitas yang besar dan ide untuk menegakkan dogma.
Dengan demikian persoalan politik (khalifah), berubah menjadi masalah Ima>m
dan akhirnnya menjadi permasalahan akidah.
Ini tidaklah suatu yang asing, karena antara agama dan
politik dalam Islam sulit dipisahkan. Problema khalifah bukanlah soal politik
semata juga masalah agama yang cukup prinsipil. Penganut Shi>’ah menentang
pemilihan institusi khalifah melalui konsensus umat Ijma>’ mereka
bersekukuh bahwa khalifah harus dipilih melalui wasiat dari pemimpin sebelumnya
yang mempunyai legitimasi tentu saja menurut Sh>i’ah adalah Ima>m.
Puncak akidah Shi’ah adalah Ima>mat.
Ima>m dikalangan Shi>’ah berbeda dengan persepsi imam dikalangan
Sunni>, Ima>m adalah pemimpin dalam s}alat. Ima>m dikalangan
Shi>’ah ditunjuk melalui wasiat kepada keturunan ‘Ali>, Ima>m adalah
model keteladanan. Perbedaan diantara sejumlah cabang Shi>’ah, sebagian
bergantung pada identitas imam masing-masing, yakni sebagian keturunan ‘Ali>
berhak mewarisi otoritasnya. Satu diantara keberagaman adalah sebagaimana yang
terjadi pada sekte Shi>’ah Ghu>lat (berasal dari kata ghulu>w),
yang berarti berlebih-lebihan, yang terkenal ekstrem dan dianggap keluar keluar
dari Islam, yang membuat statement ‘Ali> tidak lain melainkan Tuhan
itu sendiri . Mereka dijuluki sebagai Ultra-Shi’ah, faham ini
dipelopori oleh Ibnu Saba’. Di bagian lain keberagaman tersebut juga ditandai
dengan Shi’ah Zaidiyah yang berpendapat bahwa didalam Ima>mah terdapat
sebuah fungsi yang mungkin dan tidak mungkin digunakan oleh keturunan Nabi
dalam waktu yang spesifik dan tidak mesti mengandung ‘Is}mah (kesucian).
Di antara pandangan diatas Shi’ah Dua Belas Imam (DBI)
menyatakan bahwa Imam menjalankan fungsi spiritual dan politik yang tinggi juga
mempunyai barokah tersendiri, kemampuan yang luar biasa “Kha>riq
al-‘Adah, menguasai ilmu rahasia yang tidak dimiliki manusia kebanyakan.
Imam-imam tersebut menyalurkan Nur Tuhan dan Nur Muhammad dan
mereka semua Ma’s}u>m dari dari dosa. Dengan demikian Imam-imam
tersebut sangatlah diperlukan bagi orang beriman untuk memperoleh keselamatan
hidup. Sebuah ekspresi dari Imam keenam Shi>’ah yaitu Ja’far al-S}a>diq
menegaskan: “Barang siapa meninggal dunia tanpa mengenali Imam pada zamannya,
maka ia termasuk mati kafir”. Dengan kata lain Shi’ah DBI menjadikan imam
sebagai wasi>lah antara manusia dengan Tuhan.
Di antara kelompok-kelompok dalam Shi>’ah antara
lain:
1.
Shi’ah Ima>mi>yah
Sebutan
lengkapnya adalah Shi’ah Ima>mi>yah Ithna Ashariyah, tetapi biasa
disingkat menjadi Shi’ah Im a>mi>yah. Sekte ini mengakui pengganti Ja'far
Sodiq adalah Musa Al-Kadzim sebagai Imam ketujuh, yaitu anak dari Ja'far dan
saudara dan saudara dari Ismail almarhum. Imam mereka semuanya ada 12 dan Imam
yang kedua belas adalah Muhammad.
Shi’ah
Ima>mi>yah merupakan sekte yang terbesar penganutnya. Dinamakan Shi’ah
Ima>mi>yah Ithna> Ashariyah sebab mereka percaya bahwa yang
berhak memimpin muslimin hanya imam. Mereka meyakini ada dua belas imam.[4]
Adapun urutan imam mereka yaitu:
Diantara ajaran Shi’ah Imamiah adalah sebagai berikut:
a.
Mereka menganggap bahwa Abu Bakar dan Umar telah merampas jabatan
Khalifah dari pemiliknya, yaitu Ali. Oleh karena itu mereka memaki dan mengutuk
kedua beliau tersebut. Seakan-akan laknat (mengutuk) disini merupakan sebagian
dari ajaran agama.
b.
Mereka memberikan kedudukan kepada Ali setingkat lebih
tinggi dari pada yang lain dan memiliki sifat-sifat Ketuhanan.
c.
Mereka percaya bahwa Imam itu ma's}u>m terjaga
dari segala kesalahan besar atau kecil. Apa yang diperbuat adalah benar, sedang
apa yang ditinggalkan adalah berarti salah.
d.
Mereka tidak mengakui adanya ijma' kesepakatan ulama
Islam sebagai salah satu dasar hukum Islam, berbeda halnya dengan aliran Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama'ah. Mereka baru mau menerima ijma' apabila ini
direstui oleh Imam. Oleh karena itu di kalangan mereka juga tidak ada ijtihad
atau penggunaan ratio/intelek dalam pengetrapan hukum Islam. Semuanya harus
bersumber dari Imam. Imam adalah penjaga dan pelaksana hukum.
e.
Mereka menghalalkan nikah mut'ah, yaitu nikah untuk
sementara waktu, misalnya satu hari, satu minggu atau satu bulan.
Nikah mut'ah ini mempunyai ciri-ciri
yang berbeda dengan nikah yang biasa kita kenal, antara lain sebagai berikut:
1.
Dalam akad nikah ini harus disebutkan waktu yang dikehendaki
oleh kedua belah pihak, apakah untuk satu hari atau dua hari misalnya.
2.
Dalam akad nikah ini tidak diperlukan saksi, juga tidak
perlu diumumkan kepada khalayak ramai.
3.
Antara suami-istri tidak ada saling mewarisi.
4.
Untuk memutuskan nikah ini tidak perlu pakai talak. Apabila
waktu yang ditentukan sudah habis, otomatis nikah mut'ah tersebut menjadi
putus.
5.
Iddah istri yang menjadi janda ialah 2X haid atau 45 hari
bagi yang sudah tidak haid lagi. Adapun iddah karena kematian adalah sama
dengan nikah biasa.
f.
Mereka mempunyai keyakinan bahwa imam yang sudah meninggal
itu akan kembali ke alam dunia pada akhir zaman untuk memberantas segala
perbuatan kejahatan dan menghukum lawan-lawan golongan Shi’ah. Baru sesudah
Imam Mahdi datang, alam dunia ini akan kiamat.[5]
Semua itu
tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya.
Dalam ajaran Shi’ah Imamiah pikiran tak dapat berkembang. Ijtihad tidak boleh.
Semuanya harus menunggu dan tergantung pada imam. Antara manusia biasa dan Imam
ada jarak yang lebar, yang merupakan tempat subur untuk segala macam khurafat
dan tahayul yang menyimpang dari ajaran Islam.
2.
Shi’ah Zaidi>yah
Zaidiyah
adalah sekte yang dinisbatkan kepada nama pendirinya yakni Zaid bin Ali Zainal
Abidin bin Husen bin Ali RA (80 – 122 H). Ia pernah memimpin satu revolusi Shi’ah
di Irak melawan orang-orang umawi pada masa Hisyam bin Abdul Malik. Penduduk Kufah
mendorongnya untuk memimpin revolusi tersebut. Tak lama kemudian setelah ia
maju memimpin pemberontakan, ia ditinggalkan dan dihinakan oleh penduduk Shi’ah
di Kuffah karena diketahui Zainal Abidin menghormati dan meridloi Abu Bakar dan
Umar serta tidak mengutuk keduanya. Maka ia terpaksa berhadapan dengan tentera
umayah padahal pasukannya hanya sekitar 500 orang terdiri dari pasukan berkuda.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang tersebut ia terkena panah dipelipisnya
yang menyebabkan kematiannya.
Dalam Minhaj
al-Sunnah, Ibn Taimiyyah mengemukakan alasan mengapa ada sekte Shi’ah yang
disebut Rafidhah. Menurut ibn Taimiyyah, sejak Zaid tampil ke gelanggang
politik, Shi’ah terpecah menjadi dua, yaitu golongan Rafidhah dan golongan
Zaidiyyah. Ketika ditanya mengenai Abu Bakar dan 'Umar, Zaid menyatakan
simpatinya kepada kedua sahabat itu. Zaid mendoakan keduanya. Sekelompok
pengikutnya kemudian meninggalkan Zaid. Zaid berkata kepada mereka:
"Apakah kalian menyempal dariku?" Sejak mereka menyempal dari Zaid
itu, istilah Rafidhah muncul. Adapun kaum Shi’ah yang tetap setia kepada Zaid,
mereka itu diberi nama Zaidiyah, artinya, yang memihak kepada Zaid.[6]
Kelompok
Zaidiyah ini disebut juga Lima Imam. Hal ini disebabkan karena mereka merupakan
pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat
dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak
sah. Urutan imam mereka yaitu:
e.
Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali
asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
Sebutan Rafidhah ini juga erat
kaitannya dengan sebutan Imam Zaid bin Ali yaitu anak dari Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada Khalifah
Bani Umayyah, Hisyam bin
Abdul-Malik
bin Marwan di tahun 121 H.[7]
·
Syaikh Abul Hasan
Al-Asy'ari
berkata: "Zaid bin Ali adalah seorang yang melebihkan Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakar dan Umar, dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin
yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah,
di tengah-tengah para pengikut yang membai'atnya, ia mendengar dari sebagian
mereka celaan terhadap Abu Bakar dan Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para
pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: "Kalian
tinggalkan aku?" Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah
dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka "Rafadhtumu>ni>".[7]
·
Pendapat Ibnu Taimiyyah dalam "Majmu' Fatawa" (13/36) ialah bahwa
Rafidhah pasti Shi’ah, sedangkan Shi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak
semua Shi’ah menolak Abu Bakar dan Umar sebagaimana keadaan Shi’ah Zaidiyyah.
·
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa
Rafidhah itu? Maka beliau (Imam Ahmad) menjawab: 'Mereka adalah orang-orang
yang mencela Abu Bakar dan Umar'."[8]
·
Pendapat yang agak berbeda diutarakan oleh Imam Syafi'i. Meskipun mazhabnya berbeda secara teologis dengan Shi’ah, tetapi ia pernah
mengutarakan kecintaannya pada Ahlul Bait dalam diwa>n al-Shafi'i melalui penggalan
syairnya: "Kalau memang cinta pada Ahlul Bait adalah Rafidhah, maka
ketahuilah aku ini adalah Rafidhah".[9]
Adapun doktrin pemikirannya ialah
sebagai berikut:
a.
Zaidiyah membolehkan semua keturunan dari Fathimah untuk
menjadi Imam, baik dari Hasan maupun Husain.
b.
Menurut mereka imamah
tidak dengan nash. Oleh karena itu tidak disyaratkan imam terdahulu menunjuk
imam yang akan datang. Artinya keimaman tidak berdasarkan warisan tapi atas
dasar bai’ah, maka siapa saja yang termasuk keturunan Fathimah berhak menjadi
imam bila telah memenuhi syarat sebagai imam.
c.
Imam tidak beleh misterius, karena harus dipilih oleh Ahlu
al-Halli wa al-‘Aqdi. Pemilihan tidak boleh langsung apabila calon imam
belum diumumkan bahwa ia berhak dan memenuhi syarat untuk menjadi imam.
d.
Dalam waktu yang sama diperbolehkan adanya dua imam untuk
dua negara yang berbeda. Zaidiyah memperbolehkan pengangkatan seorang imam
utama padahal ada yang lebih utama. Sebab tidak disyaratkan seorang imam harus
orang terbaik dari seluruh manusia. Bahkan diperbolehkan terwujudnya seorang
imam yang kualitas keutamaannya biasa-basa saja padahal masih ada orang yang
lebih utama dari dia yang semestinya dijadikan rujukan dalam masalah hukum,
berhukum dengan hukumnya dalam masalah-masalah yang dikemukakan olehnya.
e.
Mayoritas penganut Zaidiyah mengakui kekhilafahan Abu Bakar
dan Umar RA tidak mengutuk keduanya seperti kelompok syi’ah yang lain. Bahkan
kelompok Zaidiyah merestui dan menyatakan sahnya kekhilafahan Utsman RA,
kendati ada beberapa hal yang kurang disetujuinya.
f.
Dalam pemikiran keagamaan mereka cenderung kepada pemikiran
Mu’tazilah, terutama dalam hal yang berkaitan dengan Dzat Allah, Qodho’ dan Qodar.
Para pelaku dosa besar dipandang oleh Zaidiyah akan ditempatkan diantara dua
tempat, sama dengan kelompok Mu’tazilah, tapi mereka tidak kekal di neraka.
Mereka akan disiksa di neraka sampai dosanya bersih, setelah bersih dari
dosanya mereka akan dipindah ke surga. Zaidiyah sama sekali menolak tasawwuf.
g.
Berkaitan dengan nikah, Zaidiyah berbeda dengan kaum Shi’ah
umumnya, yaitu menolak perkawinan muth’ah.
h.
Secara umum hamper tidak ada perbedaan antara Zaidiyah dengan
Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah khususnya dalam masalah ibadah, masalah
yang fardlu, hanya ada perbedaan sedikit dalam masalah furu’ seperti:
1.
Dalam adzan ada kata-kata hayya ala khairil a’mal.
2.
Shalat jenazah harus lima kali takbir.
3.
Tidak sedakap dalam shalat
4.
Shalat hari raya tidak mesti berjamaah.
5.
Sholat tarawih berjamaah dikategorikan bid’ah.
6.
Tidak syah shalat di belakang orang yang penuh dosa.
7.
Rukun wudlu ada sepuluh.
i.
Berkenaan dengan masalah ijtihad, mereka meyakini bahwa
pintu ijtihad masih terbuka untuk siapa saja yang mampu. Barang siapa yang
tidak mampu berijtihad dia harus taqlid. Taqlid kepada ahlul bait lebih utama
daripada taqlid kepada orang lain.
j.
Zaidiyah tidak meyakini imam sebagai ma’shum dari segala
dosa dan kesalahan, selain itu mereka tidak berlebih lebihan dalam menghormati
imam dan wajib keluar dari imam yang dzalim dan tidak wajib mentaatinya berbeda
dengan Shi’ah pada umumnya.
k.
Qodlo’ dan qodar wajib diimani, menurut Zaidiyah manusia itu
bebas memilih dalam mentaati atau mendurhakai Allah. Dengan demikian mereka
memisahkan antara ira>dah dan mahabbah atau ridla>. Ini
mirip pemahaman beberapa kalangan ulama’ Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
l.
Sumber-sumber hukum menurut Zaidiyah adalah: al-Qur’an,
Al- Sunnah, Qiyas termasuk maslahah mursalah dan akal. Dengan
demikian apa yang menurut akal jelas benar maka harus dikerjakan. Sedangkan apa
yang menurut akal jelas jelek maka wajib ditinggalkan.
3.
Shi’ah Isma>’ili>yah
Ismailiyah adalah kelompok Shi’ah yang terbesar kedua setelah
Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini kurang mendapat perhatian bahkan informasi
mengenainya tidak luas. Bahkan selama berabad-abad informasi yang benar dan
dapat dipercaya untuk para peneliti boleh dikatakan hampir tidak ada. Penelitian
terbaru pada abad dua puluh sangat membantu mengenal Ismailiyah. Kelompok Isma>ili>yah
adalah pendiri negara yang bermazhab Shi’ah di Afrika Utara.
Terbentuknya kelompok Shi’ah Ismailiyah lebih dikarenakan
perbedaan penetapan pelanjut Imam Ja’far Shadiq as. Pada tahun 148 H/765 M, di
kota Kufah sebagian orang Shi’ah memisahkan diri. Pemisahan ini terkait erat
dengan perjuangan melawan dinasti Abbasiyah. Ide mereka dibalik perjuangan
tersebut adalah keyakinan bahwa pemerintahan yang berdasarkan keadilan hanya
dapat dibenarkan bila dilakukan di belakang kepemimpinan Ismail bin Ja’far
(anak laki-laki tertua Imam Ja’far Shadiq as). Semboyan ini menarik perhatian orang
Shi’ah di Iran, Irak, Syiria, Yaman, Bahrain dan Afrika Utara. Gerakan ini
biasa disebut al-Da’wah al-Hadiyah (Dakwah Hidayah).
Pada tahun 297 H pemerintahan pertama yang berhasil didirikan
bernama Fathimiyyun atau Dinasti Fatimiyah.[10]
Keberhasilan ini di bawah kepemimpinan Imam Ismailiyah. Pemerintahan Ismailiyah
di bangun di Afrika Utara. Tahun-tahun itu dapat disebut sebagai masa keemasan Shi’ah
Ismailiyah. Pada tahun 487 H/1094 M terjadi krisis terbesar dialami oleh Shi’ah
Ismailiyah. Krisis ini terkait erat dengan kepemimpinan setelah Imam
Ismailiyah. Krisis ini menyebabkan terbaginya Shi’ah Ismailiyah menjadi dua
bagian yakni Musta’lawiyah dan Nizariyah. Perselisihan yang terjadi menyebabkan
melemahnya Shi’ah Ismailiyah di hadapan Ahli Sunah.
Musta’lawiyah diakui secara resmi oleh pemerintah pusat di
Afrika Utara. Bahkan boleh dikata Musta’lawiyah adalah pewaris aliran
Ismailiyah. Namun Musta’lawiyah perlahan-lahan juga terbagi-bagi. Pada
akhirnya, tahun 567 H ketika Dinasti Fathimiyah runtuh, Musta’lawiyah dengan
sendirinya tidak lagi memiliki kekuasaan. Di masa keruntuhan Dinasti Fathimiyah
kelompok Ismailiyah Thibi, yang sebagian besar Musta’lawiyah, menetap di Yaman.
Mereka menanti Imam mereka yang gaib. Di masa penantian Imam ghaib mereka
meyakini kepemimpinan Da’i Mut}laq (penyeru mutlak). Perlahan-lahan
ajaran mereka menyebar ke India. Di India dikenal sebagai Buhrah. Perhatian besar mereka akan pentingnya sastra dan pemikiran
Ismailiyah menyebabkan budaya Fathimiyyun untuk kedua kalinya tumbuh kembali.
Saat ini, sejumlah besar teks-teks Ismailiyah Fathimiyah dan Thibi berada di
tangan Ismailiyah India.
Sementara itu, Nizariyah sempalan lain dari Ismailiyah memiliki
pengikut terbesar. Pada abad pertengahan mereka banyak bertempat tinggal di
Iran. Pertama mereka menempati daerah Khuzestan kemudian berpindah-pindah ke
Utara, pusat Iran, Khurasan dan sampai di daerah Ma bina An-Nahrain, akhirnya
mereka tersebar di daerah Rei dan Naishabur. Penyeru mutlak mereka seperti, Abu
Hatim Ar-Razi dan Muhammad bin Amhad Nasafi memimpin Da’i Muthlaq di daerah
Kurasan. Berkat usaha penyeru mutlak, yang rata-rata adalah orang Iran,
pemikiran Neo Platonisme dikombinasikan dengan teologi Ismailiyah. Usaha mereka
menghasilkan aliran filsafat Ismailiyah Neo Platonisme. Pemikir-pemikir yang
memiliki saham terbentuknya pemikiran ini seperti; Abu Ya’qub Sijstani, Hamid
Ad-Din Kermani, Nasir Khasru dan lain-lain. Pergolakan pemikiran yang terjadi
ini pada akhirnya, dengan kepemimpinan Hassan Sabah, memunculkan gerakan
Ismailiyah Nizariyah.
Hassan Sabah lahir di kota Qum. Ia meyakini ajaran Ismailiyah di
kota Rei hingga memegang tampuk kepemimpinan. Pada masa itu, akhir-akhir abad
ke lima Hijriah, Ismailiyah yang berada di Iran masih di bawah kepemimpinan Shi’ah
Fathimiyyun. Perwakilan Shi’ah Fathimiyyun di Iran dipegang oleh Abdul Malik
Bin ‘Attash. Ia tinggal di kota Isfahan. Hassan Sabah sebelum terpecahnya
Ismailiyah kepada Musta’lawiyah dan Nizariyah berniat untuk memerangi Turki
Saljuqi yang bermazhabkah Ahli Sunah. Ia pada tahun 483 H/1090 M berhasil
menguasai istana Alamut. Pada tahun 487 H ia menjadi pemimpin Shi’ah Ismailiyah
Iran. Dengan itu juga ia memutuskan hubungannya dengan Fathimiyyun. Bersamaan
dengan itu ia mendirikan negara Nizari. Negara yang dibangunnya dikemudikan
hari lebih dikenal dengan ‘Da’wah jadidah’ (seruan pembaharu). Hassan Sabah
perlahan-lahan melebarkan sayap kekuasaannya hingga mencakup Syiria, Khurasan
dan daerah Utara Iran. Namun batas-batas teritorial kekuasaannya terpecah-pecah.
Negara Nizariyah hanya dapat bertahan selama 166 tahun. Masa 166
tahun ini dikenal dengan masa Alamut. Tidak banyak informasi berkaitan dengan
mereka. Informasi yang ada tidak lebih dari yang diberikan oleh Markopolo
sebagai pengamatan yang dilakukan dalam perjalanannya. Namun akar pemikiran
Nizariyah dapat ditelusuri pada Sepidjamegan dan Khurramdinan.
Setelah Hassan Sabah, ada tujuh orang sepeninggalnya yang
berkuasa di Alamut. Di masa ini kekuasaan mereka cukup kuat. Kekuatan mereka
pada akhirnya harus runtuh setelah serangan bangsa Mongol. Runtuhnya kerajaan
Nizariyah oleh serangan tentara Mongol terjadi pada tahun 654 H/1256 M. Setelah
runtuhnya kerajaan Nizariyah, orang Ismailiyah kemudian melakukan eksodus ke
beberapa negara antara lain India, Afghanistan dan lain-lain. Penyebaran mereka
di beberapa negara dilakukan dengan bentuk kehidupan seorang sufi. Imam
Nizariyah sebagai mursyid mereka. Mereka sempat berkumpul di daerah Anjedan
kota Qum dan akhirnya menuju India. Di India mereka dikenal dengan sebutan
Khojah. Khojah adalah kelompok Shi’ah Ismailiyah yang terbesar. Saat ini,
pengikut Shi’ah Ismailiyah hidup bertebaran di Jerman, Tajikistan, Khurasan,
Afghanistan dan lain-lain.[11]
Shi’ah
ini disebut juga Tujuh Imam sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang
dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il.
Urutan imam mereka yaitu:
7.
Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far
ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.[12]
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat
ditarik benang merahnya bahwa Shi’ah merupakan suatu kelompok yang meyakini
kepimimpinan Ali ra dan anak cucu serta pengikut beliau setelah Rasul SAW.
Di antara sekte atau kelompok dalam Shi’ah
itu sendiri ialah: Pertama, Shi’ah Ima>mi>yah yang merupakan sekte
terbesar penganutnya. Dinamakan Shi’ah Ima>mi>yah Ithna Ashariyah sebab
mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada
dua belas imam. Sedangkan Ismailiyah adalah
kelompok Shi’ah yang terbesar kedua setelah Itsna ‘Asyariyah atau Shi’ah
Imamiyah
DAFTAR PUSTAKA
‘Ali
al-Nadwi Abu al-Hasan. Riwayat Hidup Rasulullah, terj. Bey Arifin, Yunus
Ali Muhdhar, Surabaya: Bina Ilmu.
Bakar, Irfan
Abu. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim. Bandung:
PT. Mizan Pustaka, 2004.
Filza, Abu. “Shi’ah Imamiyah Bertentangan dengan Ajaran
Islam”, dalam http://www.akhirzaman.info/islam/Shi’ah/1727-Shi’ah-imamiyah-bertentangan-dengan-ajaran-islam.htm 2011.
Hamid,
Abu Hamid. Riwayat Hidup ‘Ali Bin Abi Thalib. Semarang: Toha Putra, 1988.
Ilyas Hasan, dkk. Shi’ah;
Tinjauan Sejarah. Bandung: Mizan, 2003.
Merdin,
Sherif. Shi>’ah Dalam Lintasan Sejarah, terj.Syamsuddin Asyraf,dkk.
Yogyakarta: Titian Ilahi, 1999.
Mura>d,
Mus}t}afa. Al-Shi’ah. Mesir: 2005.
Nasr, Seyyed
Hossen. Islam; Agama, Sejarah dan
Peradaban. Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
Syu’bi, Mohammad.
Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve.
Taimiyyah,
Ibnu. Minhaj al-Sunnah. Juz 1, hal.8.
______, Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul
Zahrah,
Muhammad Abu. Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah,
Politik & Fiqih. Jakarta: Lentera, 2005
[2]
Seyyed Hossen Nasr, Islam; Agama,
Sejarah dan Peradaban terj (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), 11.
[4]
Irfan Abu Bakar, Sejarah
Bangsa-Bangsa Muslim (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), 358.
[5]
Abu Filza, “Shi’ah Imamiyah
Bertentangan dengan Ajaran Islam”, dalam http://www. akhirzaman.info/islam/Shi’ah/1727-Shi’ah-imamiyah-bertentangan-dengan-ajaran-islam.htm (03
Oktober 2011), 2.
[6]
Lihat pada Minhaj as-Sunnah,
Ibnu Taimiyyah, Juz 1, 8.
[8]
Untuk lebih jelasnya, lihat Ash-Sharimul
Maslul ‘Ala Syatimir Rasul. hal. 567, karya Ibnu Taimiyyah.
[9]
Muhammad Abu Zahrah, Imam Syafi'i: Biografi dan Pemikirannya dalam
Masalah Akidah, Politik & Fiqih, Penerjamah: Abdul Syukur dan Ahmad
Rivai Uthman, Penyunting: Ahmad Hamid Alatas, Cet.2 (Jakarta: Lentera, 2005).
[10]
Mohammad Syu’bi, Ensiklopedi Islam
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), 133.
[11] Kamaluddin Nurdin Marjuni, Shi’ah
Ismailiyah dalam http://salehlapadi.wordpress.com /2007/04/24/ismailiyah-kelompok-terbesar-kedua-syiah/
(03 Oktober), 3.